• Home
  • About Me
    • Link Url
      • Example Menu 1
  • Stories
    • Memory
  • Travel
  • Contact Me

Inside Monochrome

A photo blog about travel, volunteer experiences and personal life by Nuri Arunbiarti

Yang namanya itinerary, pasti ada perubahan kapan saja, bahkan H-1 dari itinerary yang sudah ada. Seharusnya hari ini aku berkunjung ke sebuah kuil kecil di mana para biksu melakukan ibadah di pagi menjelang siang hari, kalo muslim sih menyebutnya "Solat Dhuha". Tapi karena hari itu adalah hari sekolah, jadi aku dan peserta yang lainnya berkunjung ke... SEKOLAH! YEAY! Beberapa hari sebelumnya aku sering melihat beberapa anak kecil memakai seragam sekolah tetapi aku melihat adanya gedung atau bangunan sekolah terdekat. Ternyata, untuk mencapai sekolah, para murid berjalan 1 jam lamanya dari rumah mereka. Dan salah satu sekolah yang menjadi tempat kunjungan kami adalah sekolah yang mendapat dukungan dari National Geographic Society, berupa komputer, printer dan kebutuhan lainnya.






Untuk menuju ke bangunan sekolah, terletak tidak jauh dari jalan besar dan kami melewati sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu. 



Sekolahnya dikelilingi lembah di Phobjika, matahari menyapa sepanjang hari, tapi jika memasuki musim dingin dan bersalju, sekolah bisa diliburkan selama 3 bulan, sampai musim salju selesai. Bangunannya sederhana, dihias dengan ukiran kayu berpola khan Bhutan di setiap kusen pintu kelas.




Ternyata kedatangan kami merupakan jam bebas untuk mereka, setelah memasuki beberapa kelas dan jam bebas dimulai, para murid berhamburan keluar untuk bermain dengan kami. Jimmy, salah satu guide kami mengajak beberapa murid bermain bola voli di "lapangan" sekolah. Dan murid perempuannya bermain engklek di atas lahan yang berpasir.




Di Bhutan, seragam sekolah perempuan berwarna hijau dengan menggunakan model baju tradisional mereka. Untuk perempuan, disebut Kira. Sedangkan untuk laki-laki, disebut Gho.




Kami bermain di sekolah sekitar satu atau dua jam, menurutku, memotret kegiatan orang-orang adalah hal yang paling menyenangkan saat mengunjungi ke negara mereka karena itu adalah momen yang tepat untuk berinteraksi dengan orang lokal, apalagi orang lokalnya juga bersahabat meskipun membutuhkan bantuan guide untuk menerjemah apa yang ingin aku katakan ke mereka.

Selama di Bhutan, bertemu mereka adalah hal yang paling menyenangkan karena dengan melihat kehidupan mereka yang sederhana dan hidup dengan apa adanya, mereka bisa bahagia. Itu membuat aku sangat bersyukur dengan apa yang aku punya sekarang.


Wrote by Insidemonochrome
Aku mengawali hari dengan bangun pagi, karena akan melihat sebuah festival di tempat yang aku kunjungi di hari pertama, yaitu Punakha Dzong. Festival dimulai jam 9 pagi, layaknya sebuah festival nasional, sebuah lapangan di dalam Punakha Dzong dipadati dengan panduduk lokal maupun turis dari berbagai negara.




Sehari sebelumnya, Meg berkenalan dengan  seorang cowok Belanda bernama Roger. Dan ternyata mereka bertemu lagi di tempat ini. Awalnya aku ingin mengambil tempat di lantai atas agar aman dari kerumunan orang lokal dan kehilangan barang tapi Meg menarik lenganku dan mengajakku untuk bergabung dengan Roger yang sudah mengambil tempat di antara penduduk lokal. Aku berpikir, ini pengalaman langka untuk bisa berbaur dengan penduduk lokal atau bahkan suku asli Bhutan dalam suatu acara besar. Lagi-lagi pantat terasa pasan karena aku duduk di atas tikar terlalu lama, ingin membujurkan kaki juga susah karena padat. Tapi, rasa jenuhku berkurang karena aku bertemu dengan gadis kecil ini yang selalu menyambut lensa kameraku saat aku ingin memotretnya :")




Tepat jam 9 pagi, festival pun dimulai. Ada satu tarian yang menarik perhatianku, tarian itu bernama The Mask Dance of the Drum atau The Drametse Ngacham, di mana semua penari pria mengenakan berbagai macam topeng berbentuk hewan dan membawa tabuh yang dibunyikan dengan irama yang mencengangkan. Intronya seperti efek suara di film Inception, kalau kata Meg dan Roger. Dan emang bener sih. 

The Drametse Ngacham ( Tari Topeng ) dari masyarakat Drametse adalah budaya dan agama tari topeng sakral dilakukan selama Festival Drametse untuk menghormati Padmasambhava , seorang guru Buddhis. Festival ini diadakan dua kali dalam setahun, pada bulan kelima dan bulan kesepuluh dari kalender Bhutan. Fitur tari enam belas penari pria bertopeng mengenakan kostum berwarna-warni dan sepuluh orang lainnya yang terdiri dari memimpin orkestra oleh pemain simbal. Tarian ini memiliki bagian tenang dan kontemplatif yang mewakili dewa damai dan bagian yang cepat dan atletik, di mana para penari mewakili dewa murka. 

Penari mengenakan jubah biara dan mengenakan topeng kayu dengan fitur hewan nyata dan mitos melakukan tarian doa di cham soeldep, kuil utama, sebelum tampil satu per satu di halaman utama . Pertunjukan tari disertai dengan instrumen tradisional, yang dimainkan oleh orkestra dan oleh para penari sendiri. Orkestra terdiri dari simbal, terompet dan drum, termasuk nga Bang (silinder drum yang besar) nga lag, genggam melingkar, gendang datar kecil dan nga chen, drum dipukul dengan stik drum ditekuk. 

The Drametse Ngacham telah dilakukan di lokasi ini selama berabad-abad. Bentuknya memiliki baik makna keagamaan dan budaya, karena diyakini awalnya telah dilakukan oleh pahlawan dari dunia surgawi. Pada abad ke-19, versi Drametse Ngacham diperkenalkan di bagian lain dari Bhutan. Untuk penonton, tari adalah sumber pemberdayaan spiritual dan dihadiri oleh orang-orang dari Drametse serta desa-desa tetangga dan kabupaten untuk mendapatkan berkah. Tarian ini telah berkembang dari acara lokal berpusat di sekitar komunitas tertentu menjadi sesuatu yang mendekati bentuk seni nasional, yang mewakili identitas bangsa Bhutan secara keseluruhan. 

Meskipun tarian ini sangat dihargai di antara semua generasi, jumlah praktisi yang berkurang karena kurangnya waktu latihan, tidak adanya mekanisme yang sistematis untuk melatih dan menghormati para penari dan musisi dan penurunan bertahap dalam minat kalangan anak muda. Saat ini, hanya ada segelintir praktisi ahli dengan pengetahuan komprehensif tentang fitur tradisional tarian. Selain itu, penyebaran tarian ke bagian lain negara pasti akan mengarah pada distorsi nya (sumber: http://www.unesco.org/culture/intangible-heritage/06apa_uk.htm)

Seorang penari pria mengenakan topeng berbentuk kepala Garuda



Rasa panas dipantat kembali terasa, aku menengok ke atas untuk melihat-lihat. Dan ternyata banyak pasa biksu muda menyaksikan festival dari lantai atas. Begitu juga matahari yang mulai tinggi, akhirnya Meg memutuskan untuk berjalan-jalan dan dia kembali mengajakku. Lega banget rasanya bisa mengerakkan kaki setelah "terjebak" di kerumunan para penonton. Kami memutuskan untuk mengelilingi area lain di dalam Punakha Dzong dan bertemu dengan keindahan dan kecantikan dari wanita muda Bhutan, serta para biksu muda yang berjalan atau hanya berdiri secara bergerombol dan sesekali menatap ke arah lensa kamera kami.





Acara belum selesai, tetapi Sha sudah menetapkan waktu untuk kami berkumpul kembali pada jam 12 siang untuk makan siang. Sebelum menuju pintu keluar, aku melihat wanita asli Tibet ini. Sha bilang, banyak penduduk Tibet maupun Mongol sengaja datang ke festival ini dan sudah dipastikan mereka yang datang adalah penduduk beragama Buddha.



Hari menjelang sore, aku dan peserta ekspedisi menuju sebuah tempat bernama Khamsum Yuelley Namgyel Chorten. Untuk mencapai tempat itu, kami harus mendaki selama kurang lebih 45 menit, begitu juga untuk turun kembali ke kendaraan. Dan seperti inilah jembatan sebelum kami memulai mendaki.


Khamsum Yulley Namgyal berdiri megah di punggung bukit strategis di atas lembah Punakha. Pengrajin Bhutan termasuk tukang kayu, pelukis, dan pematung membutuhkan waktu selama 9 tahun untuk membangun kuil 4 lantai ini.

Ini adalah contoh yang indah dari tradisi arsitektur dan seni halus Bhutan dan satu-satunya dari jenisnya di dunia. Dibangun oleh Her Majesty the Queen Mother, kuil ini didedikasikan untuk kesejahteraan kerajaan dan manfaat semua makhluk.
Wrote by Insidemonochrome
Setelah melewati malam yang sangat amat panas di kamar hotel *ASLI PANAS BANGET*, aku dan peserta ekspedisi lainnya menuju ke Punakha Valley dengan mini bus, perjalanan memakan waktu selama 4 jam perjalanan. Tepos deh tuh pantat. Sepanjang jalan berkelok-kelok ngga santai mengikuti Pa Chu (chu berarti "sungai") dan mengarah ke timur Dochu La pada 10.300 kaki. 

Awalnya aku kira ekspedisi ini khusus buat memotret kehidupan sosial di beberapa kota di Bhutan. Ternyata benar, hanya saja untuk memotret kehidupan sosial di kota-kota yang aku tuju di Bhutan, tidak selalu naik mobil. Misalnya, di Punakha ini kami diajak ke sebuah kuil kecil yang sedang mengadakan doa bersama, sayangnya kami tidak diizinkan memotret di dalam, padahal dalamnya bagus banget. Banyak gambar sang Buddha dan Circle of Life. Tempat pertama yang kami kunjungi hari itu adalah Kichu Temple.

BE-9182

BE-9197



BE-9211

Setelah dari Kichu Temple itu, kami pergi ke tempat bernama Chimi Lakhang, di mana para biksu muda bermain setelah belajar. Untuk ke tempat itu, kami harus menelusuri Punakha Valley dengan jalan kaki (atau sedikit mendaki) selama kurang lebih 45 menit, atau selama 2 jam untuk bolak-balik. Dan angin di Punakha Valley sedang kencang, untunhnya semalam sebelumnya sudah diingatkan untuk berpakaian dengan hangat dan memakai sepatu lari atau mendaki. 

Setibanya aku  di puncak Punakha Valley, inilah yang aku temui

BE-9405

BE-9394

Kalau ada yang sudah pernah ke Nepal, India, Tibet maupun China, di beberapa daerah tertentu kalian pasti akan melihat prayer flag di mana-mana, biasanya dibentangkan dengan sangat panjang, dari ujung pohon ke ujung pohon yang lainnya, atau bahkan dari satu bukit ke bukit lainnya. Sayangnya, guide kami tidak menjelaskan banyak tentang prayer flag  ini, kalau ada yang tahu, bagi-bagi pengetahuannya yah ;)
Aku melihat banyak prayer flag pertama kalinya di Dochula, Punakha Pass.

BE-9312

BE-9277


Orang-orang di Bhutan, kebanyakan anak-anak, sangat familiar dengan fotografer (atau kamera). Saat aku berjalan kembali menuju kendaraan, aku bertemu dengan dua anak kecil ini. Dengan polosnya mereka menyapaku dan beberapa peserta ekpsedisi. Lucunya, mereka tersenyum saat kami semua bilang ingin memotret mereka, seolah-olah mereka sudah sangat sering difoto oleh fotografer yang berjalan melalui rumah mereka.

BE-9433

Perjalanan di hari itu tidak terlalu melelahkan karena tidak terlalu banyak kegiatan dan waktunya santai, sehari paling mengunjungi dua sampai tiga tempat yang diberi waktu lama, sekitar satu jam sampai 3 jam. Bosan? NGGA DONK. Karena motret sering kali memakan waktu yang lama, apalagi kalau ada acara khusus. Nah, di hari ketiga aku bakal kasih tau kenapa motret acara khusus selama 3 jam itu seru, tidak membosankan ;)

FYI. Ternyata di Bhutan, nasi merah adalah makanan pokok kerajaan, yang notabene buat orang Indonesia adalah makanan buat diet. Ngga heran sih kalo raja dan keempat (iye, 4) istrinya tampak sehat dan kelebihan berat badan alias gendut :p

Wrote by Insidemonochrome
Kalau aku menyebut “Bhutan”, beberapa dari temenku akan mendengar kata “Hutan”. Yah, beda tipis sih terdengarnya tapi di Bhutan, sebuah negara di sebelah timur Nepal ini tidak memiliki banyak hutan. Sesuai dengan cerita dari travel guideku, bernama Sha Purba (biasa dipanggil Sha), Bhutan memiliki banyak kuil Buddha… dan biksu, pastinya. Ya iya lah, ada kuil masa ngga ada biksu.

Weits, sebelum memulai cerita perjalananku selama di Bhutan, aku mau cerita sedikit bagaimana aku bisa traveling ke Bhutan. Kenapa Bhutan? Karena aku udah pernah ke London #digampar. Jadi begini, pada dasarnya aku paling suka bepergian ke kota dan pedesaan karena bisa berkomunikasi dengan orang lokal meskipun bahasanya tidak sama dan terkadang membuat kita harus menggunakan bahasa tubuh. Nah, setelah berkutat dengan peta dunia dan website travel guide semacam Lonely Planet dan National Geographic, rasa penasaranku tertuju pada sebuah negara yang memiliki gambar seekor Naga di benderanya meskipun aku ngga tau itu naga jantan atau betina. Kemudian aku mendengar ada sebuah ekspedisi yang bertujuan ke Bhutan. Sempat ragu pada awalnya, tapi kita ngga bakalan tahu kalau ngga mencobanya khan?

Di twitter dan instagram, catatan perjalanan ini aku beri tagar #BhutanExpedition biar aku sendiri gampang mencari informasi yang udah aku sebar di dunia maya. Tapi aku mencoba untuk bercerita lebih lengkap di sini. Perlengkapan fotografiku di #BhutanExpedition adalah dua body kamera dan empat lensa. Lensa 35mm, 50mm, 24-70mm dan 80-200mm. Banyak? Oh jelas. Namanya juga ekspedisi fotografi. Angkut aja yang sekiranya dibutuhkan, masalah dipakai atau ngga mah liat nanti. Karena kamu ngga bisa kembali ke rumah untuk mengambil lensa lalu kembali lagi ke Bhutan.

Di ekspedisi ini aku berkesempatan untuk bertemu dan hunting foto bareng Chris Rainier, fotografer National Geographic selama 30 tahun. Buat dia, ini adalah kunjungannya ke Bhutan yang kesepuluh. Sedangkan buatku? Udah pasti yang pertama. Selain Chris, aku bertemu banyak orang baru. Dan dugaanku benar, aku yang termuda dan terkecil (badannya). Mau ngga mau, aku berkomunikasi dengan bahasa Inggris dalam perjalanan ini. Sempet panik karena bahasa Inggrisku dalam percakapan ngga bagus, untungnya mereka memakluminya. Total peserta ekspedisi ada 16 orang termasuk aku, dan beberapa diantaranya sudah pernah ke Indonesia. Eerrr… Jakarta, lebih tepatnya. Pendapat mereka sama, MACETNYA JAKARTA LUAR BIASA. Salah satu dari mereka pernah melewatkan rapat penting karena terjebak macet. Hanya Chris yang memiliki cerita yang berbeda. Dia sudah pernah ke beberapa tempat di Indonesia, dia ke Aceh, Padang, Flores, Pulau Komodo dan Bali. Dia bercerita bahwa, empat hari setelah kunjungannya ke Aceh, tsunami datang dan menghancurkan hotel di mana Chris menginap sebelumnya. Dan dalam beberapa bulan lagi dia akan kembali ke Indonesia untuk mengerjakan sebuah proyek fotografinya.


Chris Reinier, Fotografer National Geographic



Kembali ke cerita selama di Bhutan...

Beberapa kali aku melihat video di YouTube tentang pariwisata Bhutan, dari melihat beberapa video di YouTube aku udah bisa membayangkan seperti apa Bhutan itu. Awalnya aku mengira Bhutan seperti Jatinangor atau Sukabumi menjadi sebuah negara. Bukit di mana-mana, beberapa toko bisa dicapai dengan mudah dari hotel yang aku tempati serta makanan yang siap disambut hangat oleh lambung dan organ pencernaan lainnya. Nyatanya? Memang benar ada bukit di mana-mana, tetapi tidak dengan toko yang bisa dicapai dengan mudah dan makanan yang siap disambut hangat oleh lambung dan organ pencernaan lainnya. Dari satu kota ke kota lain, minimal membutuhkan waktu 2 jam dengan mobil. Iyah, 2 jam. Udah kayak dari Jakarta ke Bandung lewat tol. Dan di Bhutan tidak ada kereta. Selama perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang aku lihat hanyalah bukit, awan, langit biru, segerombolan biksu muda berjalan setelah dari kuil dan… Yack, kuda dan sapi, pastinya. Ngga usah dibayangin kalau kalian sering liat e*k kuda di depan kampus ITB. Beda tipis koq “ranjau darat”nya. Sedikit cerita, nama “Bhutan” berasal dari sansekerta “Bhu-uttan” yang memiliki arti “daratan tinggi”. Pada awalnya penjelajah asal Inggris memberi nama Bootan atau Bhotan. Semenjak abad ke-13, negara itu diberi nama Druk Yul atau “Daratan Naga Petir” dan penduduknya menyebut diri mereka, Drukpa.

Hari pertama di Bhutan, tanggal 11 Maret 2014, aku disambut oleh udara dengan suhu sekitar 6 derajat Celcius. Meskipun aku pernah tinggal di Jatinangor selama 7 tahun dan merasa sudah kebal dengan udara dinginnya, tetap saja kedinginan.

Aku dan peserta ekspedisi terbang menuju Paro, Bhutan dengan sebuah maskapai nasional negara Bhutan bernama Druk Air, yang mana Druk dalam bahasa resmi Bhutan, Dzongkha (Zong’kha) memiliki arti “Naga”. Dzongkha adalah bahasa Sino-Tibetan yang dibawa ke Bhutan oleh pergerakan imigran dari Tibet sekitar abad ke-8, bukan abad ke-21. Kalau abad ke-21, yang bawa bahasanya adalah Krisdayanti (Angkatan 90an pasti tahu maksudnya). Dzongkha adalah bahasa utama yang digunakan di bagian timur negara, tetapi banyak perbadaan bahasa dan dialek yang bisa ditemukan di Bhutan. Bahasa Inggris diajarkan di sekolah. Menu makanan dan petunjuk dalam bahasa Inggris dapat ditemukan di Bhutan. Rambu-rambu jalan dan dokumen pemerintah ditulis dalam bahasa Dzongkha dan bahasa Inggris, dan koran nasional, Kuensel, diterbitkan dalam bahasa Dzongkha, bahasa Inggris dan bahasa Nepal.

Sekitar jam 6:50 pagi kami berangkat dari bandara Suvarnabhumi, Bangkok, kemudian kami tiba di Paro, Bhutan sekitar jam 9:50 pagi (Jakarta atau Bangkok hanya berbeda 1 jam lebih cepat dari Bhutan), sekitar 4 jam di udara termasuk transit di Dhaka, Bangladesh. Sebelum lepas landas, Chris mengatakan bahwa kami dapat melihat pemandangan luar biasa dari sisi timur pegunungan Himalaya termasuk Kanchenchunga (gunung tertinggi ketiga di dunia) dan pemandangan tersebut hanya bisa dilihat dari sisi kiri pesawat. Dan aku dapat tempat duduk di sebelah kiri pesawat, tepatnya di samping jendela. Jadi aku bisa melihat pemandangan luar biasa itu.




“Nuri, do you feel cold?”, tanya salah satu peserta ekspedisi, sebut saja namanya Reid. Bukan Tara Reid maupun The Reid film yang dibintangi Iko Uwais *Itu The Raid, Nuri*.

“Yes”, jawabku dengan tatapan “Menurut lo?!”

“Really? How come?”, tanyanya lagi

“Reid, I was born and raised in tropical country, which the lowest temperature in my city, EVER, is about 16 until 18 degrees Celsius”

“Uumm, I’m sorry. How many degrees it that in Fahrenheit? Because I’m American”

Udah kedingingan, disuruh ngitung pula. Boleh nangis? Atau setidaknya tepok jidat? Oke sip!

“Hhhmmm…. It’s about 50s or 60s degrees Fahrenheit, I guess”, jawabku dengan sabar.

“That’s warm enough! I’ll be sweating all day if I were you in that weather”, balasnya.

Auk ah -.-“

Seminggu sebelum berangkat, aku dapat pemberitahuan via e-mail bahwa Bhutan mengalami badai salju yang sangat hebat. Jadi udara di Bhutan gampang dingin dan gampang panas pula, mirip-mirip ama meriang gitu lah.



Baiklah, dari cuaca aku sudah bisa memperkirakan bakal seperti apa perjalananku di Bhutan selama 8 hari. Bahasa? Tidak ada kendala karena guide kami pandai berbahasa Inggris. Makanan? Nah, di beberapa artikel menyebutkan makanan di Bhutan tidak jauh dari makanan bersantan seperti makanan India *lalu aku ngebayangin masakan padang dan aku tau itu salah*, banyak sayur mayur dan makanan untuk tamu atau turis cenderung tidak pedas. Garis bawahi. Tidak pedas. Mengingat Bhutan adalah negara seadanya yang sudah memakai toilet duduk yang bersih dengan air lancar, layaknya di rumah, seharusnya makanan pedas tidak menjadi masalah. Eh, masalah dink. Karena toilet duduk yang bersih dan nyaman seperti di rumah tidak ada di toilet umum di Bhutan. Solusinya? Buang air kecil di sungai atau pergi ke toilet umum di tempat objek wisata, nah kalo itu udah pasti bersih dan air maupun tissue selalu tersedia.

Setelah menaruh barang dan makan siang di hotel bernama Zhingwa Ling Hotel, kami semua berangkat mengunjungi Ta Dzong (Dzong artinya benteng pertahanan) yang dulu digunakan sebagai pelindung Bukit Paro dari serangan orang-orang Tibet. Dzongs biasanya memiliki tiga tujuan: Pertahanan, pusat administrasi dari pemerintah lokal dan pusat kegiatan religius para biksu.






Saat mengunjungi Ta Dzong, aku sempat dipantau oleh petugas keamanan di depan pintu masuk.

“Hey you!”, seru salah satu petugas keamaan sambil menunjuk ke arahku

“Me?”, tanyaku

“Yes you! If you want to visit this Dzong, you have to put off your veil”

Lalu gue melongo, butuh beberapa detik untuk mencerna peringatannya

“Put off your veil please, miss!”, lanjutnya.

Lalu aku menaiki anak tangga dan berdiri persis di hadapannya

“I’m a Moslem, so I can’t put off my veil. Is that okay?”, kataku dengan rasa deg-degan.

Lalu dia berdiskusi dengan temannya yang merupakan penjaga Ta Dzong, dalam bahasa Dzongkha. Tak lama kemudian dia bilang, “Okay, you can enter Ta Dzong. I’m apologize for being impolite”

“That’s okay, sir. Thank you.”, lalu aku merasa lega dan melangkah masuk ke dalam Ta Dzong.

Dan seperti inilah tampak dalam Ta Dzong:








Setelah mengunjungi Ta Dzong, kami mengunjungi Kyichu Lhakhang (Lhakhang artinya "kuil"). Kyichu merupakan salah satu kuil tertua di Bhutan. Dahulu, raja memiliki keinginan untuk membangun 108 kuil Buddha dalam hidupnya.
Wrote by Insidemonochrome
Newer Posts Older Posts Home

Nuri Arunbiarti Moeladi

Nuri Arunbiarti Moeladi
Please don't get envious just because I travel a lot. Music concert photographer and small part of @Salihara

Popular Posts

  • Tujuh Jam Di Udara dan Sydney Tanpa Kesedihan
    Kamis, 23 Februari. Saya dapat flight tengah malam untuk kesekian kalinya, berangkat dari rumah sekitar jam setengah 8 malam karena harus...
  • Panduan Singkat Untuk Travel Writer Bagian Fotografi
    Di bandara Sydney, saya menemukan toko buku Lonely Planet dan membeli buku Lonely Planet's Guide To Travel Writing. Setelah membaca beb...
  • Bervakansi Dalam Dinding Dia.Loe.Gue
    Baru beberapa menit setelah saya hadir di Dia.Loe.Gue, saya merasakan atmosfir ceria di dalamnya karena banyak anak - anak. Mereka bermain ...

Blog Archive

  • ►  2020 (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2019 (7)
    • ►  October (2)
    • ►  July (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2018 (17)
    • ►  December (4)
    • ►  October (2)
    • ►  August (3)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (3)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (10)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2016 (11)
    • ►  November (3)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  March (2)
  • ►  2015 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ▼  2014 (12)
    • ►  December (5)
    • ►  April (3)
    • ▼  March (4)
      • Bhutan Expedition: Phobjika
      • Bhutan Expedition: Punakha Dzong
      • Bhutan Expedition: Punakha Valley
      • Bhutan Expedition: Ta Dzong
  • ►  2013 (11)
    • ►  December (1)
    • ►  October (2)
    • ►  September (1)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2012 (13)
    • ►  December (4)
    • ►  November (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  February (3)

Categories

Traveling Photos Photography Photowalk Volunteer Article Friendship Music Love Life Review Beauty Fashion hair make up salon

FOLLOW MY @INSTAGRAM

Copyright © 2016 Inside Monochrome Revamp by SiMunGiL Designed by SiMunGiL