• Home
  • About Me
    • Link Url
      • Example Menu 1
  • Stories
    • Memory
  • Travel
  • Contact Me

Inside Monochrome

A photo blog about travel, volunteer experiences and personal life by Nuri Arunbiarti

Hai hai, di tulisan kali ini aku bakal ngasih tau tentang itinerary, akomodasi dan perlangkapan yang dibutuhkan saat (akan) mengunjungi Bhutan. Semoga bermanfaat ;)

Karena aku mengunjungi Bhutan pada saat setelah musim dingin, perlengkapan untuk udara dingin tetap diperlukan karena meskipun Bhutan termasuk dataran yang kering, angin dingin tetap tidak bisa dihindari. Untuk perlengkapan yang dibutuhkan pada saat bulan Maret bisa kamu unduh di sini 

Jika kalian ke sana dalam rangka ingin memotret, disarankan membawa lensa yang memiliki focal length sedang (antara 20mm sampai 50mm), dan lensa zoom (antara 70mm sampai 200mm). jangan lupa untuk membawa memory card dan batterai lebih. Dan disarankan untuk memeriksa kondisi kamera ke professional service sebelum berangkat.

Dan berikut adalah itinerary yang aku dapat dari National Geographic Expedition saat akan bepergian ke Bhutan pada bulan yang sama. Itinerary bisa berubah tanpa pemberitahuan sebelumnya karena turis yang berdatangan di Bhutan termasuk padat dan tergantung dari travel agent di Bhutan yang kalian pilih. Dan untuk menuju Bhutan, kamu harus berangkat dari Bangkok dengan pesawat Druk Air, pemesanan bisa kamu lakukan di https://www.drukair.com.bt/


Itinerary dari National Geographic Expedition (March 9–20, 2014)
Sunday & Monday, March 9 & 10 Bangkok. Novotel Suvarnabhumi Airport Hotel

Tuesday, March 11. Bangkok/Paro, Bhutan (Zhiwa Ling Hotel)
- Druk Air flight, KB #127, is scheduled to depart Bangkok at 6:50 AM and, after a short layover in Dhaka, Bangladesh, arrive Paro at 9:50 AM. As we near Bhutan (if the weather is clear), we may see the massive peaks of the eastern Himalaya, including Kanchenchunga (the third highest mountain in the world) and Bhutan's holy mountain, Chomolhari. 
- Visit Ta Dzong (dzong means “fortress”), a circular fortification that once protected the Paro Valley from Tibetan invasion. Dzongs originally served three purposes: fortress, administrative center of local government, and center for the monks' religious activity. The dzong commands sweeping views of the valley below, and is a short walk from Paro’s traditional center, Paro Rinpung Dzong.
- Visit Kyichu Lhakhang (lhakhang means “temple”) to photograph the temple in the afternoon light. 

Wednesday, March 12. Paro/Punakha (Pema Karpo)
- Drive (approximately 4 hours) to the golden Punakha Valley starts along the winding road following the Pa Chu (chu means “river”) downstream to its confluence with the Wang Chu, then up-valley to Thimphu, the current-day capital. Driving eastwards, we cross the Dochu La (la means “pass”) at 10,300 feet. Take a short walk in the forest before beginning the descent into the Punakha Valley.

Thursday, March 13 Punakha (Pema Karpo)
- Return to Punakha Dzong to capture images of the dramatic closing ceremonies of the festival. 
- We then set off on an invigorating hike to Khamsum Yuelley Namgyel Chorten. It takes about an hour and a half from the trailhead to the top of the hill where the chorten is located. Crossing through farm-fields, there are nice views of this fertile valley along the way. The chorten itself houses hundreds of images of various protector deities, and commands excellent views of the valley below. The return from the chorten to the trailhead only takes 45 minutes or so, as it is all downhill.
- Time permitting, we’ll also visit Chimi Lakhang, a small but famous temple in the center of Punakha Valley. It takes about 45 minutes to walk from the trailhead to the temple.

Friday, March 14 Punakha/Phobjika (Dewachen Lodge)
- Continue eastwards (approximately 4 hours) to the stunningly beautiful Phobjika
Valley.

Saturday, March 15. Phobjika (Dewachen Lodge)
- Exploration of the beautiful alpine valley of Phobjika begins with a visit to Gangtey Goemba (goemba means “monastery”), one of the oldest private monasteries in Bhutan. Against a backdrop of forest-clad mountains.
- From the goemba, set off on an optional, scenic hike (about 2 hours) around the valley, stopping to meet a family at a local farmhouse along the way. Then visit the classrooms of a local school to mingle with students and teachers, and to glimpse the future of Bhutan.

Sunday, March 16. Phobjika/Thimphu (Taj Tashi Hotel)
- Depart for Thimphu, the current-day capital of Bhutan and home to the royal family. The drive is long (approximately 7-8 hours), but we’ll break it up with stops for photos and short walks. Cross the Dochu La, where thousands of prayer flags flutter in the wind and 108 chortens (small memorials) dot the landscape. Weather permitting, capture images of 200 miles of Himalayan summits from atop the pass.
- Thimphu is Bhutan’s largest city. It is the seat of the Royal Government of Bhutan, the home of the Royal Family, and the main center for most international aid organizations. As the only true city in Bhutan, it is a unique mix of Himalayan and Western sensibilities.
- Upon arrival in Thimphu (and time permitting), we visit the National Textile Museum, where we have a chance to see Bhutan’s most celebrated art form.

Monday, March 17. Thimphu/Paro. (Zhiwa Ling Hotel)
- Dedicated to exploring Bhutan’s largest city. Among the highlights of our visit is a trip to the school for traditional arts. We can go inside the classrooms as students learn the ancient traditions of thangkha painting, sculpture, metalwork, and the like. The school was founded in an effort to preserve Bhutan’s ancient artistic heritage, which is intertwined with Buddhist religious art. In addition to the school, we may be able to visit a small factory where beautiful tree-bark paper is made by hand.
Depending on our group’s interests (and time permitting), we may also visit:
  • Tashichho Dzong
  • The Royal Silver and Goldsmiths
  • The Handicraft Emporium
  • Game enclosure overlooking Thimphu to view takins
  • The Drubthob Goemba Nunnery
  • The Archery grounds (where you might catch an archery match)
  • The Indigenous Hospital (which dispenses traditional Tibetan medicine)
Late this afternoon, return to Paro.

Tuesday, March 18 Paro. (Zhiwa Ling Hotel)
- Set out to make a pilgrimage to one of the most important religious sites in the Himalaya, Taktsang Lhakhang, known as The Tiger’s Nest. The visually striking monastery clings to a vertical granite cliff 2,000 feet above the valley floor. The legend of Taktsang dates back to 747 AD when Guru Rinpoche (Padmasambhava), in the wrathful form of Guru Dorji Droloe, is believed to have arrived at this site on the back of a tiger and subdued the evil spirits in the region.

Wednesday, March 19 Paro/Bangkok, Thailand. (Novotel Suvarnabhumi Airport Hotel)
This morning we depart the Land of the Thunder Dragon and head to Bangkok.

Thursday, March 20. Bangkok.
Depart Bangkok for your return flight.


HOTEL CONTACT INFORMATION

PARO ZHIWA LING HOTEL (Free wifi available)
Tel: (975) 8 271 277
Fax: (975) 8 271 456

PUNAKHA PEMA KARPO HOTEL (Free wifi available)
Tel: (975) 1 770 9381
 
PHOBJIKA DEWACHEN LODGE (no wifi and television available)
Tel: (975) 1 716 2204
 
THIMPHU TAJ TASHI HOTEL (Paid wifi available)
Tel: (975 2) 336 699
 

Catatan tambahan: suntik vaksin typhoid termasuk perlu karena udara dan air di sana tidak terlalu bagus. Aku terkena demam dan radang tenggorokan karena tidak sengaja menelan air dari keran hotel saat wudhu. Di Thimpu banyak toko yang menjual barang kebutuhan kita, seperti shampoo, sabun, pembalut sampai balsam. 

Untuk informasi lebih lengkap tentang Bhutan termasuk tour, kamu bisa kunjungi http://www.tourism.gov.bt/

Jika ada kekurangan, bisa mention aku di twitter @nurinuriii atau tinggalkan komentar di kolom yang sudah ada.

Terima kasih :D
Wrote by Insidemonochrome


(atas ki-ka) Sha Phurba, Ling He, Jin Liu, Rongrong Yan, Bruno Raschle, Dereesa Reid, Dr. Judith Topilow, Rich Stephens, Dr. Arthur Topilow, Greg Miao and Shirley Kuai
(bawah ki-ka) Marcella Lassen, Mark Prior, Chris Rainier, Nuri Arunbiarti (aku), Meg Marksberry and Fiona Zhang


Tulisan kali ini berisi tentang pengalaman dari yang pengen bikin nangis sampe bikin ketawa. Aku datang sehari lebih awal dari jadwal ekpedisi dimulai, yang mengurus perjalanan dari National Geographic, bernama Jessica, memberi tahu setelah aku ngirim jadwal kedatanganku ke Bangkok. Perjalanan dimulai pada tanggal 10 Maret 2014, sedangkan aku sudah memesan tiket pada tanggal... 9 Maret 2014. JRENG! Aku sempet bingung karena hotel yang ditawarkan Jessica cukup mahal. Jadi, aku menginap di Saphaipae Hostel karena murah, hanya 10-15 Bath per malamnya. Toh hanya untuk tidur satu malam saja. Sehari setelah menginap di Saphaipae Hostel, aku naik taxi ke tempat di mana semua peserta ekspedisi menginap di Novotel Suvarnabhumi International Airport, Bangkok. Saat makan malam, aku tidak melihat adanya "penampakan" peserta ekspedisi karena hotel ini kebanyakan dipakai untuk transit. 

Semua peserta ekspedisi diminta berkumpul di lobby hotel pada jam 3 subuh, karena takut kebablasan, aku memutuskan untuk tidak tidur dan mengecek isi koper agar tidak ada yang tertinggal. Jumlah peserta ekspedisi ada 15 orang, harusnya 16 tapi ada satu peserta yang batal. Di situ aku berkenalan dengan semuanya, termasuk fotografer National Geographic, Chris Rainier. Aku berusaha berkomunikasi dengan semua peserta yang menggunakan bahasa Inggris, sempet jiper karena bahasa Inggris ku pas-pasan. BANGET. Tapi selama mereka mengerti maksudku, aman. AMAN BANGET.

Pada saat makan siang setibanya kami di Zinwaling Hotel di Paro, kami semua memperkenalkan diri. Ada yang berprofesi sebagai dokter, CEO rumah sakit, konsultan hukum dan nomad traveler. Hampir semuanya adalah traveler kelas berat. Saat itu aku duduk bersebelahan dengan Marcella dan Bruno, sepasang suami istri dari Swiss.  

"Setelah ekspedisi ini, kamu ada rencana traveling kemana lagi, Nuri?" tanya Bruno, seolah-olah gue punya duit kayak menuai padi. Di mana-mana ada dan siap panen 2 kali dalam setahun. 

"Adikku tertarik sekali untuk pergi ke sana, mungkin aku akan menemani dia. Rencananya akhir tahun ini", jawabku

"AH! Iceland! Kamu harus ke sana untuk melihat Aurora Borealis karena itu adalah fenomena alam terindah yang pernah aku lihat", tambah Marcella 

Lalu Bruno mengeluarkan handphonenya dan memperlihatkan foto-foto Aurora Borealis hasil karyanya, aku drop seketika karena fotonya bagus banget. Dan mereka berduapun bercerita bahwa untuk mendapatkan foto Aurora Borealis, mereka membawa banyak perlengkapan yang membuat hasilnya sepadan dengan usaha dan kesabaran mereka.

Di ekspedisi ini aku dekat dengan Mark Prior dari Australia dan Sam Aldrin* dari San Fransisco. Persamaannya cuma satu: kami bertiga belom menikah :)) peserta lainnya ada yang suami istri dan sudah pernah menikah. Sebenernya ada yang masih single fighter, karena mereka berasal dari Cina dan lebih sering berbahasa Mandarin, kami tidak begitu dekat.

Aku mengobrol banyak dengan Mark pada saat sarapan dan kami makan di satu meja, karena aku pernah ke Sydney, aku bercerita sedikit tentang pengalamanku traveling ke Sydney. Mark adalah fotografer handal, badannya yang tambun mempermudah dia untuk membawa dua buah body camera dan lensa-lensa yang panjang dan berat (kalo panjang dan lama itu bukan lensa, tapi coklat Choki-Choki). Kami juga ngobrol soal kamera dan lensa, aku sempat meminjam blower untuk membersihkan kameraku karena aku tidak bawa (BEGO!). 

 Lalu, Sam Aldrin, seorang nomaden traveler yang datang dari Sri Lanka saat ekspedisi dimulai, termasuk nyeleneh kalo aku bilang sih. Selama ekspedisi, aku sering jalan-jalan berdua sama dia saat terpisah dari rombongan, bahkan dia menganggapku sebagai adik. Hari kedua ekspedisi, kami makan siang di sebuah restoran, dan di sana dia melihat cowok bule yang sekiranya bisa bikin dia ngiler bahkan bikin selangkangannya basah (eh maap).

"Nuri, lihat cowok itu deh. Arah jam 3", kata Sam yang mengambil duduk di sebelahku saat itu
"Cowok itu? Ngga jelek tapi bukan tipeku", kataku
"Kamu sukanya cowok Indonesia yah?"
"Tergantung sih, aku juga suka sama bule. Menurutku yang blasteran lebih menggoda daripada bule asli"
"Masa sih?"
"Iye, udah ambil makan sana"

5 menit... 10 menit... Sam tidak kembali juga dari meja buffet. Ternyata oh ternyata, dia ngobrol sama cowok bule itu, bersama sebuah piring berisi nasi dan lauk pauk beserta secarik kertas.

"Dia ngasih aku e-mail dan nomer handphonenya", kata Sam
"Yah, keliatan koq. Kamu tipenya. Cowok bule mana yang ngga suka sama cewek dengan kulit gosong hasil berjemur di pantai?"
Dia menggelengkan kepala lalu mulai makan, "saat mengambil makan dia bilang dia bertemu ibu dari anak-anaknya"
Aku tersedak dan bergegas minum air mineral yang sudah disediakan, "Terlalu jujur"
Sam tertawa.

Tidak disangka, hampir selama perjalanan kami bertemu dengan cowok bule itu. Namanya Marshall*.
"Jadi, kamu ke Bhutan dalam rangka apa?", tanyaku
"Liburan, aku lagi jenuh sama pekerjaan jadinya ke sini deh", jawab Marshall.
"Emangnya kamu kerja apa?"
"Kameramen sebuah acara travel bernama Amazing Race"
"APAH?! Kamu kameramen acara Amazing Race?!"
"Iyah, kamu tau acara itu?"
HELOOOOOOW! Itu acara banyak ditonton di negaraku. "Tentu saja aku tau, aku suka episode saat para peserta ke Jogjakarta, aku kira Indonesia tidak akan menjadi tujuan acara itu"
"Tidak mungkin, Indonesia itu bagus. Banyak tempat di negaramu yang harus dikunjungi, kecuali Jakarta"
JLEB...JLEB...JLEB. Lalu aku pura-pura pingsan -.-"

Saat di Phobjika, kami menginap di sebuah hotel berbentuk pondokan di sebuah bukit terpencil bernama Dewachen Lodge, yang mana penghangat kamar menggunakan.... TUNGKU! YEAY! Di luar kamar disediakan bertumpuk-tumpuk kayu bakar untuk digunakan sebagai penghangat kamar. Aku termasuk orang yang bisa tidur dengan suara TV menyala, sayangnya di hotel itu tidak ada TV. Aku mengobrol dengan Sam saat makan malam, dia menyarankanku untuk menonton film di laptop sampai merasa ngantuk dan aku menonton film Frozen untuk ketiga kalinya. Jam menunjukkan jam 11 malam dan akhirnya aku merasa mengantuk. Aku taruh laptop di atas meja di sebelah kasur, merasa aman karena api menyala dengan awetnya, siap menarik selimut lalu... MATI LAMPU!

Panik.

Aku langsung mengambil senter di koper. Ternyata senter yang ditulis di catatan perlengkapan dari National Geographic berguna juga.

Pergi ke luar kamar sambil memasang senter.

Semuanya. Gelap. 

Tidak ada penerangan sedikitpun di luar kamar hotel. 

Tak lama kemudian lampu menyala, aku berharap tidak akan mati lampu lagi tapi ternyata tidak. Begitu lampu mati untuk kedua kalinya, aku ngibrit ke kamar Sam, untungnya aku nanya nomer kamarnya saat makan siang, ternyata kamarnya tepat berada di bawah kamarku.

"Sam!", kataku sambil mengetuk pintu

"Siapa?!", kata Sam dari dalam

"Ini aku, Nuri"

Tak lama kemudian Sam membuka pintu kamarnya.

"Hai, kenapa? Koq keliatan panik?"

Menurut ngana?! Baru mau tidur terus mati lampu. Gimana akik ngga kaget dan panik?!"

"Aku paling takut sama kegelapan di kamar, boleh aku tidur di kamarmu?"

"Boleh! Masuk gih!"

"Sebentar, aku ambil kunci kamar dulu"

Kebetulan, kamar setiap peserta ekspedisi ada dua kasur berukuran sedang, karena Sam sendirian, aku minta tidur di kamarnya

"Kamu takut gelap?" kata Sam sambil tertawa

"Iyah. Jangan diketawain! Huhuhuhu"

"Bisa tidur ngga kalo gelap gulita kayak gini?"

"Kalo ada kamu kayaknya ngga, yang penting aku ngga sendirian"

"Ya udah, kamu tidur gih. Udah tengah malem, besok kita harus bangun pagi"

Selama dua malem kami menginap di Dewachen Lodge, aku tidur di kamar Sam dan kembali ke kamar sendiri saat subuh. Cuma karena takut mati lampu lagi. HASEUM.

Di hari terakhir, Mark jatuh sakit sehingga tidak ikut mendaki ke Tiger's Nest. Aku dan salah satu peserta, Dr. Judith Topilow, hanya bertahan hingga tea house, sekitar setengah perjalanan menuju Tiger's Nest. Kami bertiga makan siang di hotel yang sama seperti di hari pertama, Zhiwaling Hotel. Lagi-lagi aku ngomong dengan bahasa yang belepotan. Setelah yang lain kembali dari Tiger's Nest, aku mengobrol dengan Chris Reinier soal fotografi. Sejam sebelum makan malam, Chris mempresentasikan beberapa karyanya dan video di mana dia sky diving di atas gunung Everest. Bikin pengen khan? EMANG.

Di sela-sela presentasi, hal tidak terduga terjadi. Ngga. Ngga ada macan tau-tau masuk ke aula dan menerkam orang. Ngga. Tapi.... Mati Lampu! 

Aje gile. Zhiwaling Hotel yang berada di kota dan jauh lebih bagus dari Dewachen Lodge bisa mati lampu juga. Apes. Saat makan malem aku bilang ke Sam bahwa aku ingin tidur di kamarnya lagi dan dia memperbolehkan karena dia tau alasannya. Aku tidak langsung beranjak dari meja makan setalah makan malem karena Fiona, peserta dari Hong Kong dan Chris memintaku bercerita sedikit tentang agama Islam (Yang diawali dengan pertanyaan "Kenapa kamu pake penutup kepala, Nuri?") dan merekomendasikan tempat wisata di Indonesia. Percayalah, menjelaskan itu semua dengan bahasa Inggris yang pas-pasan itu lebih capek daripada lari 5km tanpa henti. ASLI. Sebelum mengakhiri percakapan setelah makan malam, Chris memintaku untuk memilih 20-30 foto yang aku ambil selama perjalanan untuk presentasi secara personal besok paginya. Presentasi secara personal buat fotografer National Geographic. Baiklah. Mencoba untuk tidak gugup tapi... *pingsan*

Jam menunjukkan jam 9 malam dan aku ingin tidur karena kelelahan mendaki. Aku melihat Sam di restoran lain di hotel sedang mengobrol dengan Marshall. Perasaan sempet ngga enak, dan merasa jadi "Kambing Conge" gangguin mereka kencan, Sam tetap mengajakku ke kamarnya karena sudah berjanji untuk "menampungku" di kamarnya.

"Lah Sam, itu kenapa Marshall ngikut ke kamar?", tanyaku

"Ada kesalahan teknis, harusnya Marshall dapet kamar malam ini, ternyata ngga. Jadi malam ini...", Sam membuka pintu kamarnya, "Dia tidur di kamarku"

HEEEEE?!

"Aku ngga apa-apa nih tidur di kamarmu?"

"Ngga apa-apa, aku udah janji khan sama kamu? Lagipula aku ngga tega sama kamu kalo nanti mati lampu lagi"

OH. OKAY.

Karena saat makan malem aku sudah pakai baju tidur, seharusnya aku tinggal rebahan, tarik selimut dan tidur begitu sampai di kamar Sam. Tapi karena eh karena kasur menghadap ke arah kamar mandi, Marshall yang tadinya di kamar mandi sedang sikat gigi, keluar-keluar cuma pakai celana boxer dan jubah handuk mandi yang (kayaknya) sengaja tidak dia ikat.

KYAAAAA! PERUTNYA SIX PACK, KAKAAAAAK! ITU PAHA KEMANA-MANA KAKAK! ITU ADA YANG MENONJOL KAKAK!

Setelah basa-basi yang ngga penting, dia langsung rebahan di sebelah Sam yang hanya memakai tank top dan hot pants. BAIKLAH!

Aku tidur membelakangi mereka karena sadar diri. Lampu sudah dimatikan, jendela dibuka sedikit karena suhu malam itu agak panas, yak! Mari tidur! Jam menunjukkan jam 11 malam.

Aku terbangun karena suhu malem itu tidak bisa ditoleransi, aku terbangun dan mendengar suara... desahan, dan ciuman.

Astaga. Mereka... make love?

SIANYING!

Karena tidak tahan dengan panasnya, aku perlahan-lahan menendang selimut lalu mereka berbicara dengan pelan. Berhenti. Lalu lanjut lagi.
ASTAGA! Serasa liat bokep secara live tapi audionya doank :)) *dikeplak*

Dalam hati aku ingin membalikkan tubuhku dan liat secara langsung, tapi yang ada malah bubar dan nanggung :))

Sam mendesah. Marshallpun mendesah. Lalu terdengar suara ciuman dan suara tarikan nafas yang cepat.

Tahan, Nuri. Tahan.

Aku lihat jam di handphone, jam menunjukkan jam setengah 1 malam dan mereka berhenti sekitar jam 2. Gilingan! Lama juga maennya -.-"

Udara kembali adem dan akupun bisa tidur lagi. Ajaib.

Paginya aku kembali ke kamar karena koper harus ditaruh di depan kamar sekitar jam 8 pagi. Aku hanya punya waktu sekitar 1,5 jam untuk mandi, berpakaian dan beberes koper. 

Semua beres. Koper ditaruh di luar. Aku berjalan menuju restoran hotel untuk sarapan.

"Hey Sam", sapaku ke Sam yang duduk di depanku

"Yo"

Aku mengecilkan volume suaraku, "Aku semalem denger suara aneh pas aku terbangun"

Sam nyengir, "Kamu denger?"

"Iya lah! Kenceng banget!", aku tertawa sambil memasukan sepotong buah ke mulutku

Ssssstttt, jangan kenceng-kenceng", lalu dia tertawa juga

"Lama juga yah mainnya"

Lalu dia tertawa lagi, "Kita bahas nanti lagi di bandara, okay?"

Aku menganggukkan kepala sambil mengunyah buah.

Sebelum berangkat ke bandara, Chris memanggilku untuk memulai presentasi. Setelah aku pilah dan pilih, aku hanya mendapatkan 17 foto yang menurutku bagus dan layak dijadikan bahan presentasi. Chris memberiku banyak masukan tentang teknik memotret yang aku punya, dan aku mencoba mengingatnya dengan baik. Tenyata, ada satu foto yang membuat dia kagum. Dia bilang, foto itu sempurna dan National Geographic banget. 

Dan aku kayak... "Ah, masa sih?"

Di akhir presentasi Chris bertanya, "Nuri, kamu ingin menjadi fotografer profesional?"

"Tentu saja. Aku masih memakai kamera dari kakakku dan tidak membeli yang baru karena aku ingin bisa memotret dengan kamera seadanya", jawabku

"Bagus. Aku melihat potensi dan bakat besar dalam dirimu dalam bidang travel photography...Kamu tau? Aku akan merekomendasikan kamu sebagai fotografer National Geographic yang tersebar di dunia. Bagaimana? Kamu mau? Kalau terpilih, kamu akan menerima penugasan dari pusat"

Bagaikan mimpi mendengar Chris mengucapkan kata-kata itu. Mimpi dari kecil, tidak disangka akan mendekati kenyataan.

"BENARKAH?!", kataku kaget

"Tentu saja, aku akan berbicara dengan orang pusat tentang kamu. Dengan senang hati aku akan merekomendasikan kamu"

"Aku mau! Terima kasih banyak, Chris. Menjadi bagian National Geographic Magazine adalah impianku dari kecil"

"Berterimakasihlah kepada dirimu sendiri karena kamu sudah berusaha untuk mencapai mimpimu itu, aku hanya membantu", kata Chris sambil tersenyum.

Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi dan Chris pun meyakinkanku untuk memegang kata-katanya.

Malem terakhir ekspedisi kami habiskan di Novotel Suvarnabhumi International Airport dengan makan malem bersama. Hanya beberapa yang tersisa karena ada yang kembali ke negara asalnya di hari yang sama. Makan besar di restoran hotel karena kami tidak bisa memilih makanan selama di Bhutan. Lucu rasanya, dari yang tidak mengenal satu sama lain, di hari terakhir terasa seperti keluarga. 

Mungkin karena hal itulah aku suka traveling sendirian. Entah nantinya bakal bergabung dengan sebuah kelompok atau tidak, yang jelas bertemu dengan orang baru saat traveling itu... Menyenangkan.


(*) Nama disamarkan sesuai permintaan yang bersangkutan :p
Wrote by Insidemonochrome
Sebenernya kalau diurut berdasarkan hari aku agak bingung, jadi aku ubah menjadi berdasarkan destinasi saja. Semoga lebih efisien :) #naondeui

Setelah mengalami hari yang melelahkan di Phobjika, aku dan peserta ekspedisi pergi ke Thimpu, kota terbesar di Bhutan. Tetapi sebelum ke Thimpu yang memakan waktu perjalanan selama 5 jam, kami membentangkan praying flags di tempat yang sudah ditentukan. Satu orang diberi 7 buah praying flags yang memiliki 7 warna yang berbeda, lalu disambung dengan milik peserta ekspedisi yang lain.

BE-4045


Dan pastinya, kami bertemu dengan biksu muda yang sedang bermain di kuil terdekat.



Thimpu berpopulasi sekitar 70,000 orang dan Thimpu bisa dikatakan "Big Apple" nya Bhutan. Di Thimpu, kami mengunjungi Museum Tekstil Nasional, di mana kami memiliki kesempatan untuk melihat semua kerajianan tangan (terutama pakaian) asli penduduk Bhutan dan di Thimpu pula, kami mengunjungi sebuah pabrik kertas daur ulang. Di Museum Tekstil Nasional kami tidak boleh mengambil foto karena sudah peraturannya, sebagai turis yang baik, aku mematuhi peraturan :3




Malamnya kami diundang makan bersama oleh beberapa pejabat dan orang penting dari industri pariwisata nasional Bhutan, beberapa dari kami sempat bingung untuk memakai baju apa karena kami semua tidak membawa baju formal :)) aku berkenalan dengan Kinley, yang ternyata seorang fotografer dan sinematografer andalan Bhutan. Dari sekian banyak foto dan video pariwisata Bhutan yang dipakai untuk promosi, dia yang bikin :O Sayangnya kami tidak sempat foto berdua karena terlalu seru mengobrol. 

Setelah menjalani hari bebas (baca: belanja) di Thimpu, kami kembali ke Paro, kota kami tiba di hari pertama. Di hotel Zhiwa Ling, Chris Rainier presentasi tentang foto-fotonya sekali lagi dan kali itu dia menampilkan foto-foto yang berbeda dari sebelumnya, dia menampilkan beberapa foto milky way di daratan pegunungan Everest (tau khan maksudku? Takutnya bingung karena bahasaku ribet -.-"). Bahkan dia memperlihatkan video di saat dia sedang sky diving di atas gunung... EVEREST! Emang dasar tua-tua keladi, makin lama makin jadi :)) Di tengah-tengah presentasi, hotel mengalami... MATI LAMPU! Dan dari situ, dimulailah kejadian yang belum pernah aku alami sebelumnya selama aku traveling sendirian. Apakah itu? Aku tulis di post berikutnya *evil laugh*

Wrote by Insidemonochrome
Newer Posts Older Posts Home

Nuri Arunbiarti Moeladi

Nuri Arunbiarti Moeladi
Please don't get envious just because I travel a lot. Music concert photographer and small part of @Salihara

Popular Posts

  • Tujuh Jam Di Udara dan Sydney Tanpa Kesedihan
    Kamis, 23 Februari. Saya dapat flight tengah malam untuk kesekian kalinya, berangkat dari rumah sekitar jam setengah 8 malam karena harus...
  • Panduan Singkat Untuk Travel Writer Bagian Fotografi
    Di bandara Sydney, saya menemukan toko buku Lonely Planet dan membeli buku Lonely Planet's Guide To Travel Writing. Setelah membaca beb...
  • Bervakansi Dalam Dinding Dia.Loe.Gue
    Baru beberapa menit setelah saya hadir di Dia.Loe.Gue, saya merasakan atmosfir ceria di dalamnya karena banyak anak - anak. Mereka bermain ...

Blog Archive

  • ►  2020 (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2019 (7)
    • ►  October (2)
    • ►  July (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2018 (17)
    • ►  December (4)
    • ►  October (2)
    • ►  August (3)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (3)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (10)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2016 (11)
    • ►  November (3)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  March (2)
  • ►  2015 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ▼  2014 (12)
    • ►  December (5)
    • ▼  April (3)
      • Bhutan Expedition: Itinerary, Akomodasi dan Perlen...
      • Bhutan Expedition: Berdiri Dengan Kaki Kecil Ini.
      • Bhutan Expedition: Thimpu dan Paro
    • ►  March (4)
  • ►  2013 (11)
    • ►  December (1)
    • ►  October (2)
    • ►  September (1)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2012 (13)
    • ►  December (4)
    • ►  November (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  February (3)

Categories

Traveling Photos Photography Photowalk Volunteer Article Friendship Music Love Life Review Beauty Fashion hair make up salon

FOLLOW MY @INSTAGRAM

Copyright © 2016 Inside Monochrome Revamp by SiMunGiL Designed by SiMunGiL