• Home
  • About Me
    • Link Url
      • Example Menu 1
  • Stories
    • Memory
  • Travel
  • Contact Me

Inside Monochrome

A photo blog about travel, volunteer experiences and personal life by Nuri Arunbiarti

Banyak temanku bilang, bepergian seorang diri itu ngga menyenangkan. Ngga ada yang bisa diandalkan saat kesulitan, atau bahkan membantuku menyakinkan diri untuk meneruskan perjalanan di saat aku merasa capek atau menyerah. Mungkin mereka ada benarnya. Tapi menurutku, bepergian sendirian itu menyenangkan. Aku bisa mengandalkan diriku sendiri di saat kesulitan bahkan untuk meyakinkan diriku sendiri ketika perjalanan mulai terasa berat. Saat bepergian sendirian hanya ada aku, buku bacaan dan musik yang selalu menemani selama perjalanan tetapi bukan berarti aku ngga suka berkomunikasi dengan orang baru di negara yang aku kunjungi. Aku suka bertemu dengan orang baru, membicarakan tentang dari mana aku berasal bahkan seperti apa budaya yang ada di negaraku. Agak sulit menjelaskan ke mereka dengan bahasa Inggris yang pas-pasan tapi setidaknya aku sudah berusaha, entah mencuri lihat kamus di smart phone atau menunjukkan beberapa foto ke mereka. 



Aku terbangun di sebuah kasur senyaman milikku di rumah, lalu aku teringat, aku sedang berada di Reykjavik, bukan di Jakarta. Aku menginjakkan kaki di Reykjavik untuk pertama kalinya. Aku mengamati kegiatan di luar penginapan yang akan aku tempati selama 5 hari ke depan. Aku berniat untuk sarapan sebelum transportasi dari rangkaian tur menjemput, paling ngga aku harus bertenaga dan menyesuaikan diri udara dingin. Selama perjalanan di Eropa, hatiku berbicara banyak. Apa jadinya jika aku meninggalkan Jakarta dan pindah ke kota yang menurutku lebih menarik dan bisa membuatku lebih hidup? Apa jadinya kalau aku ngga berhenti bekerja, terjebak di balik meja dalam sebuah perusahaan periklanan yang punya cabang di mana-mana dan membuatku merasa seperti robot? Dan apa jadinya kalau aku ngga nekat terbang ke beberapa negara di Eropa untuk mengembangkan keberanian saat bepergian seorang diri dan karir fotografi meskipun tanpa dukungan orang tua?

Di setiap keputusan yang akan aku ambil, pasti aku rundingkan dulu dengan adik laki-lakiku karena dengan dia lah aku bisa menceritakan semua masalahku dan dia membantu dalam menyelesaikan atau meyakinkanku dalam mengambil keputusan, begitu juga sebaliknya. Aku sering menyebut diriku seniman hanya karena aku seorang fotografer, padahal banyak orang bilang seniman itu seperti pelukis, musisi atau pembuat film. Apa yang aku lakukan di Eropa sekarang adalah bukan sebuah pilihan, tetapi sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab atas sebuah pilihan. Tapi, bagaimana jika pilihanku salah? Bagaimana jika aku tidak bisa bertahan? Bagaimana kalau perjalananku kali ini ternyata ngga ada gunanya karena ngga punya cerita yang bisa aku bagi? Terlalu banyak “bagaimana” dan “jika” di sini. Adik pernah berkata, “try first, worry later”, semenjak itu, kata-katanya bagaikan mantra di saat aku khawatir akan kegagalan. 

Di hari pertama aku datang ternyata Iceland sedang mengadakan acara Iceland Airwaves 2014 yang (menurut temen-temenku) line-up nya gila, buat aku sendiri sih cuma dua atau tiga band aja. Agak nyesel sih baru taunya pas aku dateng, tapi karena beberapa tur bakal mengisi kegiatan di Iceland selama 4 hari, ada untungnya juga ngga nonton karena bisa menyimpan tenaga.




Dari sekian rangkaian tur yang aku alami di Iceland, yang paling gila adalah Snow Mobile. Snow mobile yang aku tumpangi dikemudikan oleh seorang tur guide profesional bernama Jacob. Wisata Snow Mobile berlangsung kurang lebih satu jam, sekitar 10 kendaraan jalan beriringan mengikuti guide yang lain sesuai rute. Nah, Jacob ini beda sendiri. Karena dia sudah berpuluh-puluh tahun menjalani bagian tur ini, dia nyetir sesuka hati. Dari mengemudi dengan kecepatan yang tinggi, maneuver yang hampir membuatku jatuh dari kendaraan sampai... sampai... sampai aku tiba di penginapan dengan utuh dan sehat wal'afiat meskipun sempat tumbang kedinginan karena suhu terendah saat itu adalah minus 6 derajat Celsius *sujud sukur*










Tiga hari sebelum kembali ke London, aku menghabiskan waktu di bar hostel sambil membaca buku dan mendengarkan lagu. Di sana aku bertemu dan berkenalan dengan seorang cowok asal Connecticut bernama Trevor Biggs. Bapaknya orang Inggris, sedangkan ibunya orang Amerika, otomatis dia bisa berbahasa Inggris dengan dua aksen yang berbeda. Kami ngobrol banyak sambil minum segelas dua gelas bir. Mulai dari pendidikan, sampai pengalaman solo traveling. Dia mangambil jurusan Agrikultur di Connecticut dan dari kabar terakhir yang aku terima via e-mail, dia membangun sebuah sekolah kecil Agrikultur untuk anak-anak, karena bagi dia pengembangan bahan pangan dasar adalah hal penting sampai kapanpun *serasa di film Interstellar* dan dia ingin menanamkan ilmu tersebut kepada anak-anak jaman sekarang. Entah kenapa, topik pembicaraan tentang "pacar" selalu aku dapat sampai aku berada di London selama 3 minggu. Dan itu termasuk topik pembicaraan antara aku dan Trevor sambil minum bir dan merokok di teras bar hostel. Aku bercerita kepadanya kalau aku bertemu dengan cowok asal Amsterdam dan aku masih berkomunikasi sampai aku berada di Iceland. Giliran aku yang bertanya, dia menjawab...

"Aku punya pacar, dari Connecticut juga. Kami bertemu di sebuah pesta dansa yang bertema country. Aku sangat suka musik country. Sekarang kami udah berpacaran selama setahun lebih", kata Trevor.

"Apakah dia seumuranmu?", tanyaku. "Karena kalau aku amati, sekarang banyak cowok yang pacaran sama cewek yang lebih tua"

"Iya, dia lebih tua", jawab Trevor.  

"Oh ya? Beda berapa tahun? Aku pernah pacaran sama cowok yang usianya 3 tahun lebih muda dariku"

"Usia kami beda... 14 tahun"

"...."

"Dan dia janda, beranak satu"

"....."

"Anaknya cowok berusia... 17 tahun"

"HOLY SHIT! NO WAY!"

"Aku serius"

"HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA", tawaku menggelegar.

"Aku tau reaksimu bakal seperti itu, tapi memang begitu kenyataanya"

"Kamu akrab dengan anaknya?"

"Cukup akrab, karena dia setahun lebih muda dari adikku"

"......"

"Ini bukan pertama kalinya aku bepergian jauh tanpa dia. Dia udah ngelewatin hal yang lebih berat dari sekedar ditinggal bepergian jadi bagi dia ini bukan masalah besar"

Kami menghabiskan bir lalu kembali ke kamar masing-masing, dan keesokan harinya aku bertemu dengannya lagi di bar sebelum dia kembali ke Amerika. Sayangnya kami ngga foto bareng karena keasikan ngobrol #selftoyor

Inilah yang aku suka dari bepergian sendirian, bebas berkenalan dengan siapa aja dan berbagi banyak cerita. Sampai saat ini aku masih berkomunikasi via e-mail dengan Trevor, saling menanyakan kabar dan berbagi cerita baru. Kalian punya cerita menarik dengan orang yang kalian temui saat bepergian sendirian ngga?
Wrote by Insidemonochrome
Perkenalkan, ini teman baikku dari jaman kuliah di Bandung. Namanya Tassa. Trip ke Eropa ini juga dalam rangka mengunjunginya yang baru menyelesaikan S2, sebelumnya dia kuliah di ITB jurusan Kriya Tekstil.


Menyenangkan rasanya bisa bertemu teman baik di tempat dan suasanya yang sangat berbeda. Ini pertama kalinya aku ke Berlin dan merasa sangat beruntung karena beberapa orang masih bercakap dalam bahasa Inggris, kon orang Jerman harga dirinya sangat tinggi sehingga orang yang berkunjung ke sana "dituntut" untuk bercakap dalam bahasa Jerman. Waktu SMA aku belajar bahasa Jerman selama 2 tahun, tapi apa daya buatku bahasa Jerman terlalu sulit untuk dipelajari. Jadinya aja aku hanya menguasai 2 bahasa asing, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Jepang (meskipun sekarang udah agak lupa)

Aku menginap di sebuah hostel yang ternyata cukup jauh dari tempat tinggalnya, tapi aku sengaja memesan private room agar dia bisa menemaniku selama aku di Berlin. Dan ngga lupa untuk mencicipi bir khan Jerman, dan akhirnya Tassa memperkenalkan aku "bir" bernama Desperados. Yang mana itu sebenarnya adalah... TEQUILA! Aku dijebaaaaak *nangis bahagia*. 


Tapi berkat Desperados, aku bisa tidur pulas, sampai... penghuni kamar sebelah membuat kegaduhan yang membuat kami berdua terbangun. Kegaduhannya normal koq, bukan yang aneh-aneh. Ternyata di kamar sebelah berisi mahasiswa-mahasiswa. Itu jam 1 malam dan kami mencoba untuk tidur ketika kegaduhan mereka sudah reda, tapi ternyata mereka gaduh lagi. Sampai beberapa orang datang ke lobby untuk mengirim pihak keamanan ke kamar mereka karena mengganggu istirahat. Namanya juga hostel, kadang-kadang penghuni maupun fasilitasnya di luar keinginan maupun harapan.

Karena 10 hari terlalu lama untuk dihabiskan di Berlin aja, tercetuslah untuk ngabur selama 4 hari ke Praha, Republik Ceko. Karena kami berdua belum pernah ke sana dan dapat ditempuh dengan kereta selama 4 jam dari Berlin.




Tassa lebih terbiasa ngider sendirian di Eropa karena dia tinggal di Berlin sejak setahun yang lalu, sedangkan aku? Ini baru pertama kalinya Eropa sendirian (kecuali London), itupun dalam rangka jalan-jalan. Jeleknya aku adalah, ketika ngider berdua dengan teman yang lebih mengenal dan berani menjelajahi daerah yang kami singgahi, aku sedikit bergantung apalagi di daerah yang bahasanya berbeda. Memang, setiap pelayanan wisata dan tur memiliki staff yang jago bahasa Inggris, tapi kalo logatnya beda, agak susah dimengerti juga.

Kami menginap di AirBnb yang lokasinya sekitar 10-15 menit jalan kaki dari Old Town, dan di sekitarnya banyak restoran kecil dan cafe yang memiliki internet dengan kecepatan tinggi *tetep ye booook, namanya juga ngebolang, mesti lapor orang tua*

Aku dikalahkan oleh udara dingin sejak di Praha. Pagi haripun berkabut dan ngga ada matahari. Tapi aku dan Tassa mencoba untuk menikmatinya karena ini pertama kalinya kami ngebolang berdua di Eropa.


Selama di Praha, selain menghubungi orang tua, aku juga menghubungi seseorang di Amsterdam via Skype dan kami berdua bercerita tentang Praha. Menyenangkan rasanya bertemu dengan seseorang saat bepergian dan ngga lama setelahnya, orang itu menjadi orang yang berarti banget dalam kehidupan sehari-hari, apalagi lahir dan tumbuh di budaya dan negara yang berbeda. Yah, setidaknya untuk menjadi teman cerita yang baik (ngga perlu cerita detail tentang dia khan? OKE SIP!)

Kembali ke Praha, sehari sebelum pulang Tassa pengin ke Kutna Hora, sebuah kota yang letaknya sekitar satu jam perjalanan menggunakan mobil dari pusat kota Praha. Di sana terdapat banyak gereja tua yang desainnya unik dan menggetarkan jiwa *naon sih ih*. 


Tapi kalo boleh jujur sih, selama perjalanan aku paling ngga sabar untuk cepat-cepat sampai di London. Udah ngerasa seperti rumah sendiri. Tujuh minggu waktu yang lama kalau dijalani dengan berat hati dan ngga dinikmati benar-benar. Begitu hari terakhir di Berlin, aku merasakan waktu berjalan begitu cepat. Akhirnya bakal ke London juga selama 3 hari, lalu ke... ICELAND! Kenapa ngga langsung ke Iceland dari Berlin? Karena aku bakal tinggal selama 3 minggu di London setelah dari Iceland, jadi aku beli nomor lokal dan membeli tiket transportasi langganan terlebih dahulu biar ngga bingung setelah dari Iceland, dan aku harus menggunakan kereta dari bandara Heathrow menuju hostel. Intinya, kemanapun kita pergi yang penting bisa dihubungi biar bisa ngasih kabar ke orang terdekat. Kamu ngga pengin bikin orang lain khawatir cuma karena kamu ngga bisa dihubungi khan?
Wrote by Insidemonochrome
Setiap kali aku ditanya kenapa aku begitu berani pergi sendirian ke 6 negara dalam waktu 7 minggu, jawabanku cuma satu: Patah Hati. Bukan. Bukan karena aku punya banyak uang. Rejeki ngga akan kemana-mana kalo kita bisa sabar dan yakin rejeki kita ngga akan ketuker. Setiap kali aku berjalan mengelilingi pusat kota, aku selalu berusaha untuk membuat pikiranku sibuk. Aku banyak menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan dan aku menikmati kota-kota yang sudah aku kunjungi. Terutama London. Oh, ngomong-ngomong, "Trip Patah Hati" atau "Broken Heart Trip" yang diberi nama #BIJITrip ini terinspirasi dari cerita seorang teman bernama Willy Irawan. Beberapa tahun lalu dia solo trip ke Eropa selama sebulan karena patah hati. Makasih ya Wil, atas inspirasinya :p

Beberapa hari sebelum aku pergi, aku dan temanku berbagi cerita betapa inginnya kami berdua mengejar impian kami yang berada di kota London. Kami berdua yakin, suatu hari kami bakal bertemu di sana meskipun belum tahu kapan. London memiliki apa yang kami inginkan dan butuhkan. Bukan untuk berfoya-foya apalagi bermabuk-mabukkan, tapi murni untuk mengejar impian. Ngga percaya? Percaya aja deeeeh #apeu

Traveling sendirian itu perkara menguji keberanian, bukan tentang materi. Ada yang suka traveling dan punya banyak uang tapi ngga bisa traveling sendirian karena takut nyasar, ngga bisa berkomunikasi dengan orang lokal dan mengalami kesulitan yang lain. Dan traveling sendirian itu ngga mudah, karena hanya mengandalkan diri sendiri. 

Sebenarnya bulan Oktober adalah bulan yang kurang tepat untuk traveling ke Eropa buat orang yang ngga begitu kuat dingin seperti aku. Saat aku tiba di Amsterdam, suhu udara sehari-harinya sekitar 15 derajat Celsius, begitu aku tiba di London bulan November pertengahan, ternyata suhunya lebih sadis. Sehari-harinya bisa mencapai 5 derajat Celsius di siang hari, malamnya menurun hingga 0 derajat Celsius. Salah satu sahabatku tinggal di Berlin dan aku udah janji sama dia untuk mengunjunginya setelah aku lulus kuliah dan wisuda, kalo ngga karena janji sih aku bakal ngelakuin #BIJITrip pas musim panas. Khan enak tuh, ngga perlu bawa baju tebal dan boots. Emang dasar orang tropis, ngga bisa kena dingin dikit #selftoyor. 

Tapi ngga ada ruginya juga aku pergi menjelang musim dingin, karena saat aku jalan-jalan di pusat kota London, aku melihat salju turun di sore hari. Awalnya pengin berseru kegirangan karena itu pertama kalinya aku melihat salju turun dari langit tapi aku tahan biar ngga kampring, eh ternyata orang-orang di sekitarku juga berseru kegirangan. Ternyata, dalam beberapa belas tahun terakhir, pusat kota London hampir ngga pernah dihujani salju. Bahkan ayahku yang sempat tinggal di London selama beberapa tahun, belum pernah lihat hujan salju di kota London. Oh yeah, I'm a lucky bastard!


Aku menghabiskan waktu selama 3 minggu di London, menginap di sebuah hostel yang ngga jauh dari Russell Square Underground Station. Mengawali hari kebanyakan dengan suhu nol derajat Celsius, secangkir kopi dan sebatang rokok. Setelahnya, pergi ke stasiun kereta dengan tujuan yang ngga tentu. Namanya juga pergi sendirian, mau kemana aja terserah. Memang sih, dalam waktu 3 minggu aku bisa pergi ke berbagai kota supaya ngga ngerasa bosen. Tapi entah kenapa dari awal aku ingin tinggal lebih lama di London. Padahal pengeluaran selama di London bisa dipakai buat ke 2-3 kota lain selama 3-4 hari. Aku membunuh waktu dalam kereta dengan membaca buku dan mendengarkan musik, begitu juga saat berjalan-jalan. Memotret sambil mendengarkan lagu. Terus seperti itu selama 3 minggu. Terkesan monoton, tapi menyenangkan. Dan hal seperti itulah yang aku inginkan di saat aku butuh waktu untuk menyendiri. Kemudian aku berpikir, mungkin Willy merasa seperti ini juga ketika dia solo trip ke Eropa selama sebulan. Dipicu oleh patah hati yang kemudian membuat dia (dan aku juga) terdorong untuk berani keluar dari "Zona Nyaman" dengan melakukan solo trip #pret.

Apa yang bisa kamu harapkan ketika kamu berada di kota yang jauh dari rumah dalam waktu lama, dan di saat itulah kamu tau betul apa yang bisa membuatmu terhibur bahkan membuatmu sedih sekaligus? Kamu cuma bisa mengharapkan dirimu sendiri untuk mengerti apa yang kamu mau di saat ngga ada orang yang berani melarangmu untuk pergi kemanapun kamu mau, melakukan apa yang kamu suka, dan berbicara kepada orang asing berwajah sayu dan ramah meskipun kamu diajarkan untuk ngga melakukan itu.


Ada juga saat di mana aku membunuh waktu dengan bercangkir-cangkir kopi di sebuah cafe yang kecil sambil menulis kartu pos untuk teman-teman, lalu dilanjutkan dengan membaca buku sampai bosan. Serta saat di mana aku mengobrol dengan kedua sahabat via Line. Aku di London, yang satu di Jakarta dan yang satu lagi di Sydney. Meskipun perbedaan waktu sangat jauh, kami selalu mencari waktu yang tepat supaya bisa mengobrol dengan lancar.



Aku ngga pengin pulang. Aku sama sekali ngga ada keinginan untuk pulang. Tapi aku harus. Hanya dalam waktu 3 minggu aku berkenalan dengan banyak orang dan sedih rasanya ketika mereka memintaku untuk tinggal lebih lama tapi aku harus meninggalkan mereka. 

Sampai bertemu lagi, London! Meskipun kamu menguras harta tanpa tahta, kamu membuat saya bahagia!
Wrote by Insidemonochrome
Aku memulai Euro tripku dari Amsterdam, Belanda. Alasannya sederhana: aku belum pernah ke Amsterdam sebelumnya dan temanku, Ariev Rahman (iya, Ariev yang itu) memperkenalkanku ke temannya yang kuliah di Amsterdam. Namanya Fickry. Awalnya Belanda adalah negara tujuan ke 7 dari 9 negara, tapi karena duit ngga cukup dan mengubah itinerary berkali-kali, akhirnya Amsterdam menjadi kota pertama. Setelah berkenalan via Path dan berujung ngobrol langsung via WhatsApp, akhirnya aku bisa menginap di tempat dia selama 3 hari pertama demi menghemat pengeluaran, dengan catatan aku membawakan dia... RENDANG, SAMBAL BU RUDY dan PEMPEK PALEMBANG 😂

Awalnya bingung harus pesan di mana, setelah ngobrol selama berhari-hari demi tiga titipannya akhirnya dia yang pesan ke temannya dan tinggal aku kemas lalu masukkan ke dalam koper. Karena khawatir bocor dan bececeran, rendang dan pempek Palembang aku masukkan ke dalam kotak makan yang merknya diawali huruf "T". Dengan adanya kotak makan dan beberapa baju hangat yang tebalnya memakan tempat, koperku terlihat seperti ibu-ibu hamil 9 bulan: PADAT DAN BERISI, BRO! Saat ditimbang di bandara, beratnya mencapai 24kg. Eh tapi lumayan juga yajk, setelah semua titipan dia dikeluarin, koperku beratnya jadi 21.5kg. Tapi orangnya mah segini-segini aja *lah*

Oke, koper beres. Check in beres. Selanjutnya adalah terbang dari Jakarta menuju Dubai memakan waktu sekitar 7 jam, transit selama 5 jam lalu terbang dari Dubai ke Amsterdam sekitar 7 jam lagi. Aku sengaja memilih penerbangan tengah malam dari Jakarta biar nyampe Amsterdam setelah jam makan siang, kebetulan Fickry juga ada kuliah yang selesainya sekitar jam 3 sore. Jadi sekalian nunggu Fickry pulang kuliah juga.

Aku menghabiskan waktu selama 11 hari di Amsterdam. Menginap di flatnya Fickry selama 3 hari lalu pindah ke hostel selama 8 hari. Aku mengawali hari pertama di Amsterdam dengan berjalan-jalan mengelilingi kota bersama Fickry setelah menaruh koper di flatnya. Meskipun sedang sibuk kuliah dan mengerjakan tugas mingguan, Fickry bersedia meluangkan waktu untuk memperkenalkan kota Amsterdam kepadaku. Amsterdam adalah kota yang penuh dengan warna (dan kanal, tentunya) beserta kamu-tahu-itu-asap-apa di mana-mana. Dia memperkenalkan kota Amsterdam dengan berjalanan kaki dan naik sepeda seperti layaknya orang lokal. 


  



Sekalinya kamu bisa naik sepeda, kamu pasti akan bisa terus. Tapi yang ini pengecualian, karena aku naik sepeda yang tidak ada rem tangannya. M A M P U S! Parno kalo ngga bisa ngerem pas lampu merah dan parkir. Kelarnya? Selangkangan nyeri *pukpuk paha atas*

Setelah berusaha dan berjuang mengendarai sepeda tanpa rem tangan, akhirnya sampai juga di area Rijkmuseum dengan selamat dan jantung rasanya mau copot! *BANGGA*





 


Hari kedua di Amsterdam, aku memutuskan untuk keliling kota sendirian. Aku berjalan dengan arah yang tidak tentu dari flatnya Fickry mulai jam 2 siang, jika menurut tulisan Ricardo Cases, aku mengakhiri “jalan-jalan” ku sekitar jam 10 malam. Karena aku takut mengganggu Fickry dengan meminta dia untuk membukakan pintu flatnya, aku berniat untuk mengakhiri “jalan-jalan” sekitar jam 8 malam. Setelah menghubungi Fickry, ternyata dia sendiri akan kembali dari kampus sekitar jam 9 malam. OKE SIP! Mari kita ngiderin kota Amsterdam. Sekilas terlihat gampang itu melakukan apa yang ditulis Ricardo Cases, ternyata? NGGA. Aku teralihkan oleh banyak hal, apalagi Amsterdam adalah kota yang ramai.

Aku beruntung karena cuacanya cukup cerah meskipun anginnya sedikit kencang, dan dingin tentunya. Aku merasa seperti anak SMP yang sedang nyasar di kota Amsterdam. Karena aku memakai tas punggungku, dan badanku yang kecil membuatku terlihat seperti anak SMP. Atau bahkan seperti anak SD #lalunangisdipundakVanGogh. 





Ditengah-tengah perjalanan, batterai handphoneku menipis dan aku ngga bawa powerbank. Lumayan panik karena aku harus buka peta di handphone untuk cari arah balik ke flatnya Fickry. Dengan modal nekat bin muka lempeng, aku masuk ke sebuah bar yang di luarnya tertulis jadwal pertandingan bola yang akan disiarkan di bar tersebut, berhubung berbagai liga sepakbola sedang berlangsung jadi banyak bar yang menayangkan pertandingan bola. Setelah memesan bir satu gelas kecil tanpa ditanya identitas untuk membuktikan aku sudah di atas 18 tahun (INI PENTING!), akhirnya bisa numpang ngecharge handphone di meja paling pojok, yang mana kalo aku mau nonton bola, kepala harus melintir dikit karena televisinya ada di belakangku. Aku semeja dengan bapak-bapak yang usianya hampir 70 tahun, berawal dari ucapan "Maaf, saya boleh duduk di sini?" lanjutlah obrolan kami tentang kehidupan sehari-hari si bapak dan perjalananku di Eropa ini.

"Kamu suka Amsterdam?", tanya beliau

"Suka! Orangnya ramah-ramah dan mungkin karena aku baru pertama kali ke sini jadi terasa menyenangkan", jawabku

Beliau tersenyum simpul, "Nuri, coba kamu lihat tempat yang di seberang kita persis"

Aku pun melihat tempat yang dia maksud, terlihat banyak orang mengantri sampai puluhan menit

"Kamu tau itu tempat apa?", tanya beliau

Aku menggeleng

"Itu tempat sex live show"

Aku. Langsung. Bengong.

"Dan yang di sebelahnya, yang ada pintu kaca berjejer dan bergorden merah...", dia melihat jam tangannya sesaat. "Kamu coba perhatikan dalam waktu sekitar 5 menit"

"Memangnya itu tempat apa?"

"Nanti kamu juga tau"

Aku memperhatikan tempat yang dia maksud sambil lanjut ngobrol, ngga lama kemudian salah satu gorden merah dari tiga pintu kaca terbuka.

Aku. Bengong. Lagi

"Itu... perempuan cuma pakai pakaian dalam"

"Iya, itu tempat prostitusi. Di sini legal"

"Di negaraku tidak"

"Pantas ekspresimu kaget begitu", ucapnya sambil terkekeh. "Selamat datang di Red Light District"

Beberapa bulan sebelum aku berangkat, aku bertanya ke salah satu sahabatku yang pergi ke Amsterdam saat musim panas dan dia menceritakan hal yang aku lihat sekarang. Ternyata Red Light District separah ini. AKU SHOCK, KAK! AKU SHOCK!

*ambil napas dalem-dalem beberapa kali*

Oke, lanjut!

Sambil menunggu batterai handphone penuh, aku menonton pertandingan bola sesekali kembali mengobrol dengan beliau dan beberapa kali ditraktir bir oleh temannya, lumayan lah menghemat duit. Namanya juga traveler, ditraktir bir aja udah seneng. Apalagi ditraktir makan, dijamin hidup makmur sejahtera meskipun cuma sehari karena porsi makanan di Eropa cukup besar untuk sekali makan. 

Saatnya pergi! Bukan karena batterai handphone sudah penuh, tapi karena hari sudah mulai gelap dan Fickry mengajakku bertemu di sebuah bar yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Bukan, bukan buat minum bir lagi tapi buat Couchsurfing Meeting. Jadi CS Meeting itu semacam gathering buat pengguna Couchsurfing, mirip seperti AirBnb tapi lebih nyantai (baca: tidur di sofa, sleeping bag atau di mana-mana pemilik tempatnya senang). Aku disambut oleh host dari CS Meeting tersebut, namanya Arthur, dan ibunya (atau neneknya, aku lupa) adalah... orang Bandung. Untung dia menyapa dengan kalimat "apa kabar?", kalo pake kalimat "kumaha damang?" trus aku bales "sae... sae" dan dia bales lagi pake bahasa Sunda, SARUA KENEH ATUH! Dari sekian kali aku pergi ke bar, baru kali itu aku merasa sangat cupu karena pesan... Jus apel. Minum jus apel di sebuah bar yang mana sempet diketawain dua cowok lokal, terdengar sayup-sayup suara adikku, dia bilang, "Kamu jauh-jauh ke Amsterdam, yang kebanyakan birnya ngga ada di Indonesia malah minum jus apel? Kamu bukan kakakku! BUKAAAAAN". 

Suhu udara di Amsterdam malam itu sekitar 7-8 derajat Celsius, tapi yang namanya pengen merokok mah, mau sedingin apapun di luar tetep dijabanin. 

"Hey! Kamu tau ngerokok itu ngga baik buat kesehatan khan?", seru seorang cowok yang mana mukanya ngga cakep-cakep amat tapi badannya jadi. Untungnya dia pake polo shirt, kalo pake V-neck aku udah melengos ke luar bar. Dan ternyata dia salah satu dari dua cowok yang ngetawain aku pas pesen jus apel.

"Tau", jawabku. "Terus kenapa?"

Demi keamanan dan kenyamanan bersama, kelanjutan cerita di bar bakal diungkap secara lisan kalo ketemu ya *lalu ditimpuk koper karena ceritanya ngegantung*. Endingnya sih, aku mabok jus apel karena minum sampe 3 botol *self toyor*


Jam menunjukkan hampir jam 11 malam, akhirnya aku dan Fickry berpamitan. Selain karena sudah hampir tengah malam, aku harus berkemas untuk pindah ke hostel keesokan harinya. Masih ada 8 hari lagi untuk menikmati kota Amsterdam sebelum pindah ke Berlin.
Wrote by Insidemonochrome
Memutuskan untuk traveling sendirian itu mudah, asalkan punya keberanian dan rasa penasaran yang besar (dan ditambah dengan uang yang cukup. Ujung-ujungnya duit. tetep). Traveling selama 7 minggu seorang diri ke 6 negara di Eropa memberiku pengalaman dan pelajaran yang berharga. Mulai dari meminta izin ke orang tua sampai bertahan di negara orang dan kembali ke tanah air dengan selamat. Sebagai seorang fotografer yang suka traveling, pikiran terpecah belah itu wajar, apalagi ke negara yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. Fokus kepada objek yang akan difoto itu menyenangkan, karena melihat sesuatu yang menarik dari balik lensa adalah hal yang paling aku suka di dunia fotografi. Membuat koneksi antara aku dan objek adalah tantangan tersendiri karena memakan waktu yang tidak sebentar dan karena hal itulah aku merasa perjalananku selama 7 minggu kemarin terasa cepat. Sebelumnya aku suka berpikir, buat apa fotografer National Geographic pergi ke sebuah negara untuk penugasan foto dalam waktu lama. Sekarang aku sudah tau kenapa. Untuk menghasilan foto yang benar-benar bagus membutuhkan waktu banget, apalagi yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Dan selama yang aku lakukan adalah hal yang aku suka, aku tidak keberatan untuk pergi dalam waktu lama. Traveling, fotografi, bertemu dengan orang-orang baru lalu kembali dengan ribuan foto dan jutaan kata untuk diungkapkan. Aku menyukai apa yang aku lakukan.

Aku bertemu dan berkenalan dengan banyak orang selama aku traveling seorang diri. Berbagi cerita, belajar bahasa lokal atau minum bir bareng di sebuah bar sambil menonton pertandingan bola. Ide dari trip patah hati ini berasal dari temanku bernama Willy Irawan. Kami pertama kali bertemu di sebuah acara gathering untuk traveler di Jakarta. Di sana dia bercerita bagaimana dia menghabiskan waktu selama sebulan di Eropa dalam rangka patah hati. Lalu aku berpikir, ternyata patah hati bisa membuat orang menjadi produktif. 

Jauh sebelum traveling, aku membeli buku berjudul The Photographer’s Playbook. Aku membaca sebuah tulisan menarik di buku itu, tepatnya di halaman 53:

Ricardo Cases
Spanish Recipe

Ingredients
Four cups of coffee
A camera
Comfortable Shoes
A place in foreign country (outside Spain)
A music device with headphones and the complete works of Manuel de Falla
Eight hours
A sunny day

Directions
Step into your shoes. Place the headphones on your head. Take the first coffee. Once in the street, turn on the audio device and start walking without any direction and with no interruption except for those strictly necessary for the proper performance of the exercise - meaning, the second, the third, and fourth coffee. Take pictures of everything that suggest to you the term “Spanish”. Do not talk to anyone, do not stop walking, do not look at the time (set the alarm on your phone to alert you that the exercise is over). At the end the day select ten photos.

(Based on the original recipe of Mario Rey’s series American Insider and on the Josè Ortega y Gasset quote, “Only the imaginary can be exact” that appears in the book An Imaginary Spaniard by Cristóbal Hara.)

Setelah membaca itu, aku langsung ingin melakukannya saat di #BIJITrip nanti.Btw, BIJI singkatan dari Belanda, Inggris, Jerman dan Islandia. Yang mikir aneh-aneh, anu... anu... *kasih sabun buat nyuci pikiran joroknya*

Trip ini udah aku rencanakan sejak beberapa hari setelah lebaran, tepatnya setelah semua client mencairkan invoice *tebar confetti*. Rencana awal adalah 9 negara, yaitu Belanda, Denmark, Jerman, Republik Ceko, Slovakia, Hungaria, Austria, Swiss dan Inggris dalam waktu 2 bulan. Setelah dihitung-hitung, ternyata biayanya di luar budget yang ada. Akhirnya, aku ke negara-negara utama yang pengin aku kunjungi, yaitu: Belanda, Jerman, Islandia dan Inggris dalam waktu 7 minggu. Diselip dengan pergi ke Praha, Republik Ceko, bersama sahabat dan trip spontan ke Brussels, Belgia. 

Cerita sebelum berangkat:

Bapak: Nak, kamu jadi Euro trip?
Aku: Jadi, pak.
Bapak: Berapa lama?
Aku: 7 minggu
Bapak: ASTAGA! BAPAK KIRA CUMA 3 MINGGU!
Aku: Mana cukup, pak.
Bapak: Tiket transportasi, akomodasi, visa dan yang lainnya udah beres?
Aku: Udah pak, tenang aja
Bapak: Trus kamu berangkat kapan?
Aku: *cek kalender di handphone* 2 hari lagi
Bapak: APA?!

Dan dua hari kemudian, aku dianter bapak dan ibu ke bandara :"D Selamat menikmati cerita dan foto yang ala kadarnya :3

AMSTERDAM

BERLIN

PRAGUE


REYKJAVIK

BRUSSELS

LONDON

Wrote by Insidemonochrome
Newer Posts Older Posts Home

Nuri Arunbiarti Moeladi

Nuri Arunbiarti Moeladi
Please don't get envious just because I travel a lot. Music concert photographer and small part of @Salihara

Popular Posts

  • Tujuh Jam Di Udara dan Sydney Tanpa Kesedihan
    Kamis, 23 Februari. Saya dapat flight tengah malam untuk kesekian kalinya, berangkat dari rumah sekitar jam setengah 8 malam karena harus...
  • Panduan Singkat Untuk Travel Writer Bagian Fotografi
    Di bandara Sydney, saya menemukan toko buku Lonely Planet dan membeli buku Lonely Planet's Guide To Travel Writing. Setelah membaca beb...
  • Bervakansi Dalam Dinding Dia.Loe.Gue
    Baru beberapa menit setelah saya hadir di Dia.Loe.Gue, saya merasakan atmosfir ceria di dalamnya karena banyak anak - anak. Mereka bermain ...

Blog Archive

  • ►  2020 (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2019 (7)
    • ►  October (2)
    • ►  July (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2018 (17)
    • ►  December (4)
    • ►  October (2)
    • ►  August (3)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (3)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (10)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2016 (11)
    • ►  November (3)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  March (2)
  • ►  2015 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ▼  2014 (12)
    • ▼  December (5)
      • #BIJITrip. Iceland: Minus 6 Derajat, Snow Mobile d...
      • #BIJITrip. Berlin: Teman Baik, Desperados dan Mend...
      • #BIJITrip. London: Bawah Tanah, Membunuh Waktu dan...
      • #BIJITrip: Amsterdam. Musim Gugur, Kanal dan Asap
      • #BIJITrip: Satu orang, 7 Minggu dan 6 Negara.
    • ►  April (3)
    • ►  March (4)
  • ►  2013 (11)
    • ►  December (1)
    • ►  October (2)
    • ►  September (1)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2012 (13)
    • ►  December (4)
    • ►  November (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  February (3)

Categories

Traveling Photos Photography Photowalk Volunteer Article Friendship Music Love Life Review Beauty Fashion hair make up salon

FOLLOW MY @INSTAGRAM

Copyright © 2016 Inside Monochrome Revamp by SiMunGiL Designed by SiMunGiL