• Home
  • About Me
    • Link Url
      • Example Menu 1
  • Stories
    • Memory
  • Travel
  • Contact Me

Inside Monochrome

A photo blog about travel, volunteer experiences and personal life by Nuri Arunbiarti

Nusa Tenggara Timur, satu dari 35 provinsi Indonesia membutuhkan peran serta lebih banyak dari insan-insan pendidikan Indonesia. Pulau Sumba menjadi salah satu lokasi penyelenggaraan Ruang Berbagi Ilmu (RuBI) tahun 2018.
Sumba… Ya keindahan alamnya telah banyak diangkat dalam berbagai hal. Sebut saja film Marlina Si Pembunuh Empat Babak, dengan manisnya menyorot sudut eksotisme Sumba. Atau dalam film Susah Sinyal yang berhasil menyajikan keramahan penduduk dan otentiknya budaya dari salah satu pulau di Provinsi NTT ini. Meski begitu, dunia pendidikan di Sumba belum secemerlang seperti yang nampak di ranah hiburan.
Salah satu yang harus diperhatikan di daerah ini adalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hampir seluruh pengajar PAUD di Sumba merupakan ibu rumah tangga lulusan SMA dan belum memiliki pengalaman mengajar yang memadai. Padahal PAUD merupakan pondasi bagi pendidikan anak di jenjang selanjutnya. Hal tersebut menjadi salah satu alasan penyelenggaraan RuBI di pulau ini.

Sumba bukan daerah yang sulit dijangkau dengan pesawat, para relawan tidak perlu bersusah payah, kecuali perjuangan yang disebut “Bangun Pagi Buta” karena pesawat yang dipilih para relawan kebanyakan berangkat pada pukul 07.05 pagi dan 07.45 pagi meskipun kedua penerbangan itu akan dilanjutkan di Denpasar pada jam yang sama. Semua relawan yang berangkat pada hari yang sama bertemu di Bandara I Gusti Ngurah Rai di Denpasar, jeda waktu ke penerbangan berikutnya cukup lama sehingga bisa dipakai untuk ngopi dan mencari cemilan di luar ruang tunggu bandara.
Adalah relawan-relawan terpilih Ruang Berbagi Ilmu (RuBI) yang terdiri dari 12 relawan narasumber dan 5 relawan dokumentator yang bersedia membagi keahlian di bidangnya. Mereka tak hanya merelakan waktu namun juga uang untuk memajukan kualitas tenaga pendidik di Sumba. Mereka yang sebelumnya tidak pernah saling kenal, berkumpul dalam satu ruang untuk bekerja bersama demi pendidikan di Sumba.
Mereka datang dari berbagai latar belakang dan pekerjaan. Ada yang beberapa kali mengikuti kegiatan RuBI, ada juga yang baru pertama kali. Ada yang bekerja kantoran, ada juga yang masih mahasiswa. Meskipun hari kosong nan lowong sangat sulit ditemukan, hal itu tidak menghentikan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini, karena untuk menjadi relawan di tempat yang jauh dari rumah itu bukan perkara mencari waktu, tapi menyediakan waktu.

Para relawan tidak bergerak sendiri, mereka dibantu oleh panitia lokal dan relawan RuBI yang berada di Sumba, mulai dari membagi informasi tentang cuaca, makanan yang ada, perjalanan, hingga kondisi pendidikan di sana. Para relawan tidak hanya menyiapkan materi pengajaran, tetapi juga perlengkapan dokumentasi untuk mengabadikan momen yang akan terjadi selama kegiatan berlangsung, yang nantinya akan dijadikan kenang-kenangan untuk semua orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut.



RuBI Sumba diselenggarakan selama dua hari dengan materi masing-masing harinya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Metode Belajar Kreatif (MBK). MBS merupakan materi yang membahas mengenai pengelolaan keuangan sekolah untuk pengembangan kebutuhan sarana dan prasarana.  Sedangkan MBK mengulas mengenai ragam kecerdasan yang dimiliki anak-anak, sehingga guru memiliki pendekatan yang tepat dalam mengajar kepada masing-masing anak didiknya.
Suhu panas memang mengkhawatirkan kami, namun sebenarnya ada hal lain yang jauh menghantui: hari pelaksanaan RuBI dan kesan guru setelahnya. Menantinya seperti menanti hari penghakiman. Dan akhirnya kami terharu. Kami yang datang dengan tujuan sederhana, saling berbagi pengetahuan ini, ternyata dibuat takjub dengan apa yang mata kami lihat. Para guru menerima kami dengan hati terbuka.
Materi-materi yang disampaikan oleh relawan narasumber disambut para peserta dengan antusias. Mungkin karena mereka jarang mengikuti pelatihan sejenis, tapi bisa jadi karena mereka memang bersemangat dengan materi yang disampaikan.



Di sisi lain, para relawan RuBI pun belajar dari guru-guru peserta. Bagaimana perbedaan justru memperkaya hidup kita, bahwa "Bhinneka Tunggal Ika" itu bukan slogan. Dalam satu ruang, para relawan yang berasal dari beragam suku maupun agama dapat membaur dengan para guru peserta. Di sini, RuBI tidak hanya mengajarkan para relawan belajar menghormati budaya, tetapi juga belajar mesra dengan perbedaan.


Cuaca dengan panas yang ekstrim langsung berdampak pada kondisi fisik relawan RuBI. Dehidrasi dan meningkatnya suhu tubuh sudah mulai kami rasakan sejak tapak pertama. Bayang-bayang menurunnya kondisi fisik pasca ini sudah mulai menghantui pikiran semua relawan yang tentu akan berdampak buruk pada kewajiban di Jakarta atau daerah karir masing-masing. Karenanya, saling mengingatkan untuk menjaga kesehatan menjadi satu-satunya pilihan agar kondisi fisik kami bisa tetap terjaga. Seperti layaknya keluarga, di sini kami memang membentuk keluarga baru. Keluarga RuBI Sumba.





Perjalananku sebagai relawan di Indonesia timur tidak berhenti sampai di situ. Setelah RuBI Sumba berakhir, aku bertolak ke Bali untuk menjadi relawan di acara Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) untuk yang kelima kalinya.



Wrote by Insidemonochrome
Waktu aku traveling, beberapa kali aku dinilai bahkan dianggap seorang Muslim yang tidak baik dan juga seorang jihad cuma karena aku beragama Islam tapi ngga menjalani hidup sebagai mana seorang Muslim sesuai cerminan sikap rasul. Aku lahir sebagai seorang Muslim, dan aku besar di keluarga yang hampir semuanya beragama Islam, tapi mengingat kami semua hidup numpang di dunia yang sekiranya membuat kita harus menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial, jadilah kami, atau bahkan kamu, menjalani kehidupan dengan seimbang antara kehidupan sosial dengan norma dan agama yang berlaku. Keluargaku termasuk liberal dan demokratis. Aku boleh minum bir dan minuman beralkhohol asal tau batas dan tidak lupa sama rumah. Orang tuaku ngasih 4 peraturan keras buatku sebagai anak perempuan satu-satunya di keluarga, yaitu:

1. Aku ngga boleh pindah agama, karena itu beberapa hubunganku dengan cowok beda agama harus berhenti karena perbedaan ini padahal aku sendiri ngga masalah dengan pernikahan beda agama. Kenapa? Apalah gunanya jika aku menikah dengan lelaki yang seagama tapi ujung-ujungnya dia bukanlah seorang imam yang baik dan soleh hanya karena “Istri harus patuh kepada suami” yang disalah gunakan demi egonya sendiri, atau bahkan ngga sayang dan menjagaku sebagai mana mestinya.

2. Aku ngga boleh hamil di luar nikah. Ini mah aku juga ogah. Kalo pun aku pengin nikah dengan orang yang aku pengin tapi ngga dapet restu dari orang tua, ya ngga gini juga caranya.

3. Aku ngga boleh pakai narkoba. Jelas lah! Pancake durian masih lebih enak daripada narkoba, udah gitu murah lagi.

4. Aku ngga boleh bikin tattoo. Kata dosen agamaku, konteks menyakiti sendiri adalah sebuah dosa, entah itu secara lahir maupun bathin. Ketika kamu putus sama pacar, tidak bisa balikan tapi masih ngarep banget, itu bisa bikin kamu sakit hati, dan itu sama aja menyakiti diri sendiri bukan? Kalo tattoo, pait-paitnya aku nyesel karena udah bikin meskipun akhirnya bikin juga. OH YEAH! Persamaan dari kedua hal itu adalah, sama-sama sakit dan rasa sakitnya bisa hilang seiring jalannya waktu. Untuk soal dosa? Biarlah malaikat di kedua pundakku yang mencatat. Auk deh sekarang skor malaikat Raqib dan malaikat Atid berapa-berapa.

Toleransi. Aku pernah menjadi seorang minoritas di sebuah kota ketika aku traveling, bahkan aku sempat pacaran dengan cowok Inggris beberapa minggu setelah kami berkenalan. Awalnya sempat khawatir ketika dia tahu agamaku, dia sendiri beragama Kristen Protestan yang hampir aja menjadi seorang Atheis. Dia tipe orang yang ngga bisa mengikuti semua, aku ulangi, SEMUA ajaran dan peraturan agama yang ada. SEMUA ngga ada yang masuk akal di kehidupan dia. Oke, itu hak dia. Ketika aku tanya apa alasan dia tertarik denganku adalah karena hal yang sangat sederhana, menurut dia, Aku termasuk orang yang berpikiran cukup terbuka untuk seorang Muslim. Iya, Aku membela komunitas LGBT di dunia ini. Iya, aku suka melewatkan solat ketika aku males dan aku ngga malu untuk mengakui hal itu. Iya, aku suka ngebir. Dan iya, sebisa mungkin aku hidup di dunia ini ngga mengecewakan kedua orang tuaku. Hubungan kami berakhir ketika dia bilang Islam itu seksis, karena perempuan harus hormat dan patuh kepada laki-laki apalagi dalam keluarga hanya karena laki-laki adalah (calon) imam di keluarga. Dia atau siapapun boleh menghina sikap dan sifatku, tapi jangan agamaku. 

Kenapa kamu harus benci dengan orang yang berbeda agama dan keyakinan KALAU mereka sendiri tidak punya masalah pribadi sama kamu? Kenapa kamu harus benci dengan komunitas LGBT jika salah satu dari mereka adalah sahabat kamu sejak TK dan dia sangatlah santun dan menghormati orang tua dan keluargamu? Kenapa kamu harus benci dengan orang yang bahkan kamu ngga tau namanya, asal usulnya, cuma karena dia membela seseorang yang sangat amat memikirkan kesejahteraan orang banyak?

Logikanya adalah, kenapa kamu harus benci sama seseorang jika dia sendiri ngga bikin masalah sama kamu bahkan sampe bawa-bawa keluargamu? K e n a p a?

Termasuk menilai akhlak seorang manusia, terutama perempuan, cukupkah menilai dari cara berpakaiannya saja? Tiga bulan sebelum aku lulus SMA, aku memutuskan untuk memakai jilbab, nanggung emang, tapi kepengin. Ibu meyakinkanku berkali-kali, kemudian aku dan ibu membeli seragam SMA baru termasuk jilbab putih dan coklat untuk dipakai ke sekolah. Aku baru mulai rajin pakai setelah semester pertama kuliah, yaaa namanya juga belajar, awal-awalnya masih lepas-pakai. Singkat cerita, aku memutuskan lepas jilbab setelah batal menikah empat tahun lalu karena merasa tertekan, bukan karena kepercayaanku akan Tuhan hilang begitu saja, aku percaya Tuhan Maha Baik. 

Dengan lepas jilbab, aku merasa lebih bebas. Aku mulai merokok sekitar 10 tahun yang lalu, dan akan terlihat tidak pantas apabila aku merokok di tempat umum di saat aku masih memakai jilbab. Setelah berpikir panjang, akhirnya aku mengalahkan jilbab yang menutup rambutku selama tujuh tahun lamanya. Reaksi orang tuaku jelas tidak santai, mereka bertanya kenapa dan aku mengutarakan alasan dan perasaanku. Awalnya mereka khawatir tapi lambat laun mereka mau mengerti. Aku masih memakai pakaian yang sudah dibatasi oleh bapak. Hanya di Bali dan saat traveling ke luar negeri aku bisa bebas berekspresi, memakai celana pendek dan kaos oblong atau dress tanpa lengan. Satu hal yang mereka sadari, sifatku yang mereka sangat kenal tidak berubah sedikit pun, dengan atau tanpa jilbab, sebisa mungkin sikap dan perkataanku tidak menyakiti hati dan hidup orang lain. 



Berbuat baik sebenarnya tidak butuh alasan yang bertele-tele, bisa membuat orang lain bahagia adalah salah satu contoh pasaran yang diketahui banyak orang. Tapi berbuat kejahatan, alasannya pasti berbeda-beda, dan di saat kamu sadar alasan sebenarnya kenapa kamu berbuat jahat, aku yakin catatan malaikat Atid bakal penuh dalam waktu dalam beberapa detik aja. 

Jika orang-orang bilang, “Penyesalan selalu datang belakangan”, maka aku bakal bilang, “kalau di awal, namanya kesabaran”. Jika kamu mau bersabar, maka kamu ngga akan melakukan hal yang bodoh karena kamu kalap, khilaf dan emosi lalu berujung penyesalan. 

Manusia diberikan hati nurani dan akal sehat oleh Tuhan, dan itu bukan sekedar pemberian. Semua yang Tuhan berikan ke kita pasti ada gunanya. PASTI! Tapi jika kita menyesuaikan dengan kehidupan sosial yang ada, hati nurani dan akal sehati pasti sering berantem, dan itulah yang menentukan sikap dan sifat kita di dunia yang berdampak ke orang banyak.

Sekarang coba tanya kepada diri sendiri, atas dasar apa hati nurani dan akal sehatmu bisa membenci seseorang tanpa alasan yang sangat jelas? Perbedaan ras? Perbedaan agama? 

Aku menulis ini karena aku pernah hidup sebagai kaum minoritas di sebuah kota di Eropa, pernah dicap seorang jihad, pernah dikira seorang kafir, dan juga karena sahabat-sahabatku adalah non-muslim yang selalu setia ada buatku, menasihatiku dan sayang tanpa syarat apapun.


Wrote by Insidemonochrome
Pernahkah kalian berpikir, di saat kalian menunggu seseorang yang kalian perhatikan selama bertahun-tahun dengan sabar bahkan geregetan sendiri, tanpa menagih kepastian bahwa kalian sekedar teman atau bahkan lebih sampai tidak menyadari bahwa sesungguhnya waktu yang kamu atau kalian lewati itu adalah sebuah proses pendewasaan dan menjadi pribadi yang lebih bertanggungjawab sehingga kalian akhirnya bisa sejalan?

Aku pernah, bahkan sedang mengalaminya

Empat belas tahun bukanlah waktu yang sebentar, tapi dengan kesabaran yang ada, hubungan kami sebagai teman dekat tidak berubah sedikitpun. Kami tetap saling berbagi cerita, keluh kesah, waktu, kenangan, kebahagiaan dan kekhawatiran. Kami sering dipisahkan oleh waktu dan jarak yang tidak sebentar. Tidak bertemu dan ngobrol selama berbulan-bulan adalah hal yang biasa bagiku, atau bagi kami. Entah karena aku tidak penting baginya atau sebaliknya, atau mungkin kami tidak  ingin membuat hubungan ini menjadi rumit. Kami tidak pernah menuntut apapun, apalagi menuntut status "teman" menjadi "pacar" meskipun aku pernah mengajaknya untuk berkomitmen sebanyak lima kali. Iya, lima kali. Dan tentu saja dia menolaknya dengan halus. Sebagai seseorang dengan zodiak Cancer yang cukup keras kepala, hanya seseorang dengan zodiak Taurus ini lah yang bisa membuatku nyaris bertekuk lutut. Sampai beberapa hari lalu, kami tahu bahwa kami masih belum sejalan, mungkin tidak akan pernah sejalan. Hal itu membuatku tidak menaruh harapan lebih. Apalagi negara yang akan kami tuju untuk memulai baru hidup sangatlah berbeda, dia ingin pindah ke Melbourne, sedangkan aku ingin pindah ke London. Hal yang sangat prinspil seperti itu tidak mungkin bisa dikalahkan dengan cara apapun. 

Lima tahun terakhir akhirnya aku sadar apa yang bisa membuatku sabar menunggu selama 14 tahun lamanya. Hal sederhana seperti tidak pernah membatalkan janji dan menjadi teman cerita yang sangat baik adalah alasannya.

Selama 14 tahun aku pernah berpacaran beberapa kali, entah bagaimana dengan dia, yang jelas setiap kali aku ada masalah atau ingin berkeluh kesah tentang pacar, dia yang aku tuju. Dia tau perjalanan hidupku seperti apa sedangkan aku sebaliknya, yang aku tau dari dia hanyalah lembur, lembur dan lembur, dia tidak pernah bercerita tentang kehidupan cintanya dan aku pun tidak pernah bertanya. Satu hal yang sangat kami tau adalah, kami sama-sama punya luka bathin yang besar dan belum bisa disembuhkan sampai sekarang. 






He knows I love him since 14 years ago but he never loves me back. The only thing I know right now is, as long as he always there for me, I'm not afraid about anything but I'm ready to lose him anytime. 

Bulan Maret lalu, salah satu sahabatku menikah dan aku menangis di saat dia mengucapkan ijab qabul. Kalau orang ini menikah, mungkin aku akan menangis karena pada akhirnya, ada yang bisa menyembuhkan lukanya yang tidak terlihat itu, dan yang aku pasti... orang yang dia pilih adalah bukan aku. Nampaknya, aku harus siap-siap luluh lantak untuk kesekian kalinya.

Wrote by Insidemonochrome
Setelah pulau Rote Ndao, pulau Natuna dan pulau Sabu, kini giliran pulau Sumba yang akan dikunjungi tim Ruang Berbagi Ilmu (RuBI). Bukan RuBI namanya kalau para relawan berguguran satu per satu menjelang keberangkatan karena berbagai kendala. Dari sekian banyak tim yang berangkat ke daerah-daerah yang berbeda, tim Sumba termasuk tim yang aman karena tidak terlalu banyak yang mundur. Sumba yang kami tuju bukanlah Sumba Timur yang menjadi objek wisata banyak orang, melainkan di Weetabula, Sumba Barat Daya. Selain mengecek materi-materi yang akan dibawa, mengecek cuaca di sana juga penting. Karena aku pernah ke pulau Rote Ndao sebelumnya, jadi kebayang lah 28-31 derajat Celcius ala Sumba itu gimana. Untung ada handuk putih Good Morning yang setia dalam tas untuk melindungi kepala dari panasnya sinar matahari dan menghapus keringat yang menetes di dahi dan leher (Alhamdulillah inget lagi pakai make up jadi ngga tersapu bersih di saat mengelap keringat di muka). 

Persiapan kami kali ini benar-benar matang karena banyak materi yang akan disampaikan dan banyak perlangkapan yang harus dibawa. Sayangnya di RuBI kali ini aku kembali menjadi fotografer, bukan sebagai pemateri di RuBI Rote Ndao, padahal kangen banget ngasih materi yang berhubungan dengan literasi. 



Tidak hanya mereka yang meninggalkan pekerjaannya di kantor, aku pun bolos beberapa kelas karena sudah berkomitken untuk mengikuti kegiatan ini setiap tahunnya, selain karena suka mengikuti kegiatan relawan, aku ingin mengelilingi Indonesia melalui kegiatan yang bermanfaat untuk orang banyak, tidak hanya untuk relawan-relawan ini sendiri. 

Apa sih yang kamu dapat dari kegiatan relawan? Padahal semuanya (dari biaya transportasi hingga biaya akomodasi) kamu tanggung sendiri?

Selain pengalaman, berkenalan dengan orang baru untuk sebuah koneksi itu penting. Untuk terlibat dalam sebuah kegiatan relawan di luar kota juga dibutuhkan pengalaman yang cukup. Mulai dari mengatur waktu, menjaga kesehatan, dan juga menjalankan tugas sesuai peran sebagaimana mestinya. 

Perjalanan kami dari Jakarta menuju Tambolaka terbilang mudah karena dapat diakses melalui udara, tidak harus lewat laut. Total perjalanan selama 6 jam membuat kami lupa akan rasa kantuk, lelah dan panasnya Sumba karena kami melalui perjalanan ini bersama-sama, tidak sendirian. Memang, kami semua adalah individu-individu yang berbeda tapi kami di sini berkumpul untuk satu tujuan, visi dan misi di bidang pendidikan, khususnya pendidikan di daerah yang lebih membutuhkan.

Dari Jakarta ke Tambolaka, kami harus transit dulu di Denpasar selama 2-3 jam, dan beberapa dari kami mengambil jam penerbangan yang berbeda meskipun kami berangkat dari Denpasar ke Tambolaka di jam penerbangan yang sama. Mungkin pilot dan co-pilotnya agak mager untuk dijemput lebih awal *ECIEEEEE, yang pernah pacaran sama pramugara. Apal bener keknya*


Dari 25 relawan terpilih (termasuk aku), yang jadi berangkat sebanyak 18 (termasuk relawan yang berdomisili di Sumba). Alasan cuti tidak diterima pak atau bu boss atau ada pekerjaan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan sudah menjadi langganan batalnya keberangkatan. Yaaah yang namanya rencana, bisa batal kapan saja.

Berangkat dengan penerbangan pagi bukanlah hambatan bagi kami, selain karena kami semua antusias dengan RuBI Sumba, harga tiket yang lumayan menguras isi tabungan menjadi salah satu alasan kami tapi apa yang kami dapat dari RuBI Sumba, harganya melebihi uang yang kami keluarkan untuk semuanya karena jauh lebih berharga dan tak ternilai, bahkan cerita yang kami tulis bisa kami bagi kapan saja dan kepada siapa aja. Entah sebagai memori yang layak untuk dibagi, atau sebagai motivasi untuk orang lain agar hatinya tergerak untuk membantu orang lain tanpa mengharap kembali.

Tiba di Tambolaka, disambut dengan udara gerah mepet ke panas, gerah yang berbeda dari Jakarta. Di saat seperti inilah kami tidak boleh manja, semua bertanggungjawab atas barang masing-masing, seberat apapun, sebanyak apapun. Dan untuk moda transportasi dari bandara ke lokasi penginapan, sebagian besar memilih naik...




Mobil pickup! Kurang lebih selama 30 menit yang kami butuhkan untuk duduk tanpa alas yang membuat pantat kami tepos diiringi dengan melihat "kosong" nya Weetabula. Pemandangan yang sekiranya hanya bisa aku lihat saat mengikuti kegiatan relawan di luar pulau Jawa. Rasanya melegakan, bukan hanya dari udara tapi juga dari pandang mata, dan aku langsung merasa enggan kembali ke Jakarta karena berada di tempat seperti itulah yang sedang aku butuhkan sekarang.

Dari sisi fasilitas, bisa dibilang di RuBI Sumba adalah RuBI yang termewah dari semua RuBI yang pernah aku ikuti. Lokasi pelaksanaan RuBI berada dalam satu gedung dengan tempat kami menginap, yaitu di rumah retret St. Alfonsus di Weetebula. Aku memilih kamar yang tidak menggunakan AC maupun kipas angin karena udaranya masih terbilang sejuk di siang maupun di malam hari, sampai suatu malam, udara jauh lebih panas dari biasanya. Setelah terbangun di tengah malam karena kepanasan, aku melihat teman sekamarku menutup tubuhnya dengan selimut, seolah udara cukup membuatnya kedinginan dan malam itu membuatku terjaga sampai mendengar adzan subuh meskipun sayup-sayup. Nampaknya ke manapun aku pergi, pasti mengalami kejadian mistis yang bisa membuatku "biasa aja" atau aku ingat sampai kapan pun.






Seperti yang pernah aku tulis di beberapa post sebelumnya, traveling rame-rame menjadi tantangan sendiri buatku karena harus menyesuaikan satu-dua hal dengan yang lain. Aku sempat merasa tidak nyaman dengan keramaian dan kegaduhan yang ada karena aku terbiasa traveling sendirian, tapi aku sadar betul, kalau aku menyendiri, aku bakal melewatkan banyak momen yang seru bersama-sama. Salah satunya ya seperti ini. Kapan lagi aku merasa ngga peduli rambutku berantakan karena angin yang kencang dan bisa foto bareng teman-teman sepenanggungan seperti ini? Menjadi relawan itu menyenangkan, sangat menyenangkan. Bisa ke tempat yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya dan bertemu dengan orang-orang baru yang satu visi dan misi seperti mereka ini.


Wrote by Insidemonochrome
Ada rasa kesal dan sedih, ketika ada sebuah kejadian besar di pulau lain yang membutuhkan relawan dalam jumlah besar tapi aku ngga bisa berangkat karena ada sebuah tanggung jawab besar yang harus diselesaikan segera. Terkadang merasa menyesal ambil kuliah lagi, tapi terkadang merasa bersyukur karena masih bisa dikasih kesempatan itu. Sebelum memutuskan untuk kuliah lagi, aku terbiasa memanfaatkan waktu dengan terlibat dalam kegiatan relawan di luar kota biar bisa sekalian menjelajahi Indonesia, hidup terlalu singkat untuk diam di satu tempat saja khan?

Kalau liat-liat isi gallery Instagram teman-temanku, banyak yang udah pernah ke Sumba, sedangkan aku hanya bisa mikir kapan waktu yang tepat untuk pergi ke sana. Oke, mustahil untuk pergi ke sana saat masa kuliah masih berlangsung karena jarang ada hari kosong dan sudah memasuki masa menyusun proposal tesis yang harus selesai di awal bulan Desember nanti. Memang susah jadi orang yang terbiasa kesana-kemari dengan tujuan menjadi relawan sebuah acara, makanya begitu Ruang Berbagi Ilmu menunjuk Sumba sebagai salah satu daerah di semester kali ini, aku ngga pakai mikir panjang. Yeap, aku bakal ke Sumba dalam rangka menjadi relawan RuBI, bukan dalam rangka liburan seperti orang-orang kebanyakan karena waktuku terbatas, apalagi mau sidang proposal tesis begini, jadi ngga bisa extend ke Sumba Timur. HHHHRRR GMZ!

Apakah aku bakal ke Sumba doank? TENTU TIDAK! (KHAN SAYA KASIH COMBATRIN!)

Karena tanggalnya berdekatan, setelah dari RuBI Sumba aku langsung terbang ke Bali untuk kembali menjadi relawan di acara Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Ada mbak Avianti Armand dan mas Aan Mansyur kesukaankuuuuuu! Kali ini aku kembali bukan sebagai relawan fotografer, tapi sebagai supervisor acara-acara utama. Deg-degan lho, asli! Udah lama ngga ikut kegiatan relawan ternyata bisa bikin grogi juga. 

Nah, siapa aja sih yang bakal gabung di RuBI Sumba tahun ini? 

Ini di antaranya, ada yang kalian kenal?

Kenapa sih suka banget jadi relawan padahal segala macam biaya ditanggung sendiri? Kalian bisa baca alasanku di sini. 

Karena belum ada materi yang pas di RuBI untuk menjadikan aku sebagai narasumber, lagi-lagi aku menjadi fotografer. Bosen? Bosen lho~ apalagi foto-fotonya bakal menuh-menuhin hard disk. Nah, perlengkapan dokumentasi apa aja yang bakal aku bawa? Sederhana!
  • Kamera Fujifilm XT2 + dua batterai + charger
  • Lensa Fujinon XF35mm F1.4
  • Lensa Fujinon XF18-55mm F2.8-4
  • DJI Mobile
Kali ini aku cuma bawa kamera mirrorles karena lebih ringan untuk dibawa daripada kamera Nikon D750 yang biasa aku pakai untuk kerja, dan karena di perjalanan kali ini aku bakal bawa carrier 45L+10L, bakal gendong tas depan belakang deh tuh. Ditambah lagi berangkat dengan penerbangan pagi dari Jakarta menuju Sumba lewat Denpasar. Asik bukan?


Wrote by Insidemonochrome

Bukan, ini bukan tulisan tentang keputusasaanku akan hidup, tapi berharap tulisan ini adalah tulisan terakhir yang menceritakan tentang aku dan anxiety problem. Karena semakin banyak aku cerita dan terbuka tentang itu, kepalaku bisa kembali sakit karena mengingat hal-hal yang tidak seharusnya aku ingat, termasuk reaksi orang tuaku saat mereka tahu tentang tattooku. Tapi aku akan bercerita sedikit tentang makna di balik tattooku ini.

Penggemar Harry Potter pasti tahu gambar di atas. Iya, itu The Deathly Hallows, film terakhir Harry Potter yang paling aku suka dan tanduk itu adalah bagian dari tanduk Patronusnya Harry Potter, yaitu rusa. 

Aku pengin punya tattoo sejak 2-3 tahun lalu tetapi tidak dapat izin dari kedua orang tua dengan alasan aturan agama, tapi yang namanya kepingin banget ya tetep bikin. Lalu, kenapa Patronus rusa milik Harry Potter? Sebenarnya aku bisa memakai Patronusnya siapa aja karena pada dasarnya Patronus charm digunakan untuk mengusir atau menghalau Dementor atau Death Eater, tetapi setelah dipikir-pikir, untuk desain tattoo, rusa lah yang paling pas. 

Buatku, Dementor adalah anxiety problem yang aku hadapi sejak tahun 2015 dan Patronus adalah bentuk dukungan teman-teman buatku untuk membuatku tetap kuat, dan untuk tetap hidup. Seperti di beberapa tulisan sebelumnya, aku bercerita bahwa anxiety problem hampir membuatku ingin bunuh diri karena sudah merasa tidak sanggup lagi menghadapi semuanya sendirian. Dalam hal itu, aku butuh dukungan yang nyata, bukan ceramah, apalagi nasihat sok tau, tapi dukungan sederhana seperti peluk dalam waktu singkat dan orang-orang yang bersedia mendengarkan ceritaku atau bahkan mau menyeka air mataku ketika aku kembali ingin menyerah tanpa banyak bertanya. 

Kembali membuka diri untuk orang lain itu sulit, sangat sulit. Kalau pun aku ingin mencoba, rasa takut akan penolakan dan pengabaian jauh lebih besar. Di situ aku kembali "dikalahkan", tapi masih ada kekuatan entah dari mana datangnya yang membuatku terus bertahan. Babak belur rasanya. Ada masanya di mana aku ingin tidur dan tidak bangun lagi. Masalah yang aku hadapi bukan masalah sepele seperti kehidupan percintaan anak remaja yang mana aku bisa menangis beberapa hari, kemudian aku lupa kenapa aku menangis. Tidak, yang aku hadapi jauh lebih berat dari itu, dan beragam. 

Aku mencoba keras untuk memulihkan diri dari babak belur yang disebabkan oleh banyak hal, termasuk rasa patah hati ketika orang yang bisa membuatku kembali ingin berkomitmen ternyata tidak sejalan. Buku pemberian dari dia hanya terpajang di rak buku, dan ajaibnya kami kembali berteman baik seperti sebelum konflik itu terjadi meskipun ada masanya di mana aku kembali teringat rasa patah hati yang amat sangat, dan aku bertekad suatu hari nanti aku harus lepas dari orang itu, bagaimanapun caranya seperti apa yang teman baikku bilang:

Adalah sebuah pertaruhan ketika aku memutuskan untuk memulai cerita dengan orang baru yang pasti lebih baik dan orang itu memiliki semua yang aku butuhkan tapi sayang, masa lalu tidak rela ditinggal begitu saja meskipun aku (bisa) tega. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah menyelesaikan apa yang sudah aku mulai, melakukan apa yang aku suka tanpa memedulikan omongan orang lain, lalu pergi secepatnya dari sini.

Wrote by Insidemonochrome
Beberapa bulan lalu, aku dan salah satu sahabatku (cowok) berdiskusi tentang kesempurnaan versi kami. Memang, apa yang kita dapat di dunia ini tidak melulu soal apa yang kita pengin, tapi apa yang kita butuh. Berhubung usia kami saat itu sama-sama di penghujung usia 20 tahun alias menjelang usia 30 tahun, maka kami membahas soal pasangan dan hubungan. Aku sendiri masih males pacaran serius sejak empat tahun lalu, sedangkan sahabatku sendiri punya pacar dan hubungannya sudah berjalan selama empat tahun tetapi merasa monoton selama setahun belakangan karena kurangnya komunikasi. Kami berdua punya alasan masing-masing kenapa kami belum mau menikah, masalahku cenderung ke perihal kompromi karena aku masih punya beberapa hal yang pengin aku kejar, sedangkan dia cenderung ke perihal komitmen karena dia merasa hatinya belum bisa menetap untuk satu orang. 

Kalau ditanya soal pasangan ideal, jawabanku pasti lebih condong ke penampilan secara fisik. Sedangkan kalau mau realistis, penampilan secara fisik ngga akan aku utamakan, semua balik lagi ke sifat dan sikap selama menjalani hubungan, dan yang utama adalah bisa memberi rasa aman dan nyaman yang sekiranya bisa bertahan selamanya, buatku, itu adalah arti dari kesempurnaan. Sedangkan sahabatku yang satu ini, dia tidak mencari kesempurnaan dalam pasangan maupun dalam hubungan, yaaa mungkin karena dia belum ada keinginan untuk menikah meskipun sudah empat tahun pacaran, atau dia sendiri punya arti lain dalam kesempunaan itu sendiri.

"Find a partner who can talk about anything because beauty can fade, sex can be boring, in the end all you can do is talk" - @torantula

Mungkin beberapa dari kalian melihat akun-akun seleb di Instagram yang udah berkeluarga. Di foto selalu terlihat kompak, anaknya menggemaskan, dan terlihat bahagia nan sempurna. Contoh, Andien. Aku kenal Andien secara personal dan pernah lihat Kawa secara langsung, dan ya, sosok seorang mas Ippe adalah sosok laki-laki yang cukup bikin aku kagum. Bukan karena penampilan fisiknya, tapi karena rajin beribadah. Siapa yang ngga pengin punya pasangan seperti itu? Tapi ingat, itu Andien, penyanyi. Dia mendapat mas Ippe sebagai pendamping hidup karena Andien butuh sosok seperti itu. Buat orang lain? Belum tentu ingin punya pasangan seperti mas Ippe, atau seperti Andien.

Aku pribadi lebih ngefans sama Diego, adiknya Andien. Dia seorang pelari ultra, pesepeda, dan juga seorang petualang, coba cek akun @diegoyanuar di Instagram. GMZ AQUTU~ *eh maap salah fokus*. Lanjut!

Aku percaya bahwa pada nantinya kita akan mendapatkan pasangan yang sesuai kebutuhan, memang tidak sempurna di mata Tuhan tapi (bisa terlihat) sempurna di mata kita. Aku dan sahabatku berpendapat, komitmen dan kompromi adalah dua hal yang berisisan dan sangat susah dipertemukan, tapi kalau diperjuangkan dengan usaha yang cukup, semuanya menjadi mungkin, dan kata "susah" akan hilang. Dan buatku, sempurna dalam hubungan adalah komitmen dan kompromi bisa jalan beriringan, meskipun nantinya antara komitmen dan kompromi akan timpang meskipun ngga memakan waktu lama dan butuh usaha yang keras agar kembali seimbang. 

Ngga sekali aku merasa nyaman dengan sahabat sendiri karena komitmen dan kompromi bisa berjalan seimbang dan mulus, hanya saja ada beberapa hal yang menghalangi kami untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius, misalnya beda agama, beda suku, dan beda status (akunya ngga punya pacar tapi dianya punya atau sebaliknya. KHAN KZL YA SIST!)

Ngomong-ngomong soal rasa nyaman, beberapa teman sengaja mempertahankan hubungannya karena sudah terlanjur nyaman meskipun ngga tau bakal berakhir di pelaminan atau ngga dan itu pun mereka sudah membicarakannya di awal atau di tengah-tengah hubungan biar punya "Plan B" dan ngga berharap banyak, tapi ada juga yang sengaja mempertahankan hubungan karena sudah berjalan lama, kasarnya sih "sayang aja harus putus karena udah berjalan lama" padahal banyak masalah yang menumpuk tanpa solusi, dan pada akhirnya bisa meledak kapan saja dan menyakiti satu sama lain. Bukannya bertambah dewasa dengan belajar dari kesalahan-kesalahan yang ada, menumpuk kenangan buruk? Iya banget.

Jujur, hubunganku dengan sahabatku yang satu ini bukan persahabatan biasa. Dia menerjemahkan hubungan persahabatan yang makin intens selama empat bulan terakhir menjadi sebuah platonic love (begitu dia menyebutnya, yang mana aku baru apa artinya sekitar 2 minggu lalu dan dia cuma bisa kesal). Bisa dibilang, dia adalah orang yang aku butuhkan di saat-saat aku di ambang depresi beberapa bulan belakangan. Aku hanya bisa terbuka ke dia, dari masalah keluarga, masalah kuliah, hingga masalah kami, sayangnya, pemicu anxiety problem terbesarku ada di dia. Ngga sekali koq aku meminta waktu untuk sendiri, awalnya dia kaget dan khawatir akan kehilangan aku sebagai teman dekat atau sahabat, tapi aku meyakinkan dia bahwa aku ngga akan kemana-mana, aku hanya butuh waktu untuk bernafas, dan aku rasa dia mulai terbiasa kalau panic attack ku kambuh lagi sedangkan kami sedang tidak berada di satu tempat yang sama, jadi aku harus menenangkan diri sendiri dengan cara apapun. 

Suatu hari kami berandai-andai, bagaimana kalau suatu hari aku menikah dan harus pergi jauh dari Jakarta atau Indonesia untuk memulai hidup baru. Dia hanya bisa pasrah karena kalau aku sudah menikah, aku akan punya kehidupan sendiri. Untuk saat ini dia masih bisa bernafas lega karena aku belum ada niat untuk menikah, tapi dengan adanya platonic love yang dia rasakan, aku sadar bahwa aku harus menjaga jarak, karena semakin besar rasa nyaman yang ada, semakin sakit hatilah aku karena aku seringkali lupa bahwa dia punya pacar. Memang, rasa nyaman itu brengsek koq, bisa membuat kita lupa daratan.

Jika menyampingkan platonic love yang ada, persahabatan kami bisa dibilang sempurna. Kami menyisihkan waktu sesering mungkin untuk bersama, berbagi tertawa, menunjukkan amarah, mencari solusi dari masalah yang ada, dan masih banyak lagi. Kami juga saling mendukung, tidak hanya dengan kata-kata tapi juga dengan tindakan sederhana seperti makan siang bareng di saat aku jam istirahat kuliah dan di saat dia jam istirahat kerja, atau sekedar menemani dia ngopi di akhir pekan dengan laptopnya serta obrolan yang ngga tentu topiknya apa, iya, kami serandom itu. Iyah, persahabatan kami sempurna, tapi untuk menjadi sepasang suami istri seumur hidup, kami berdua sama-sama menolak dengan ungkapan "Uuuhmmm, no, I don't think so". 

Aku semakin yakin dengan ungkapan itu setelah seseorang bisa memberiku pelukan terhangat dan ternyaman dalam hidup, karena setelah aku dan sahabatku mencoba kembali untuk membangun batas yang sebelumnya didobrak karena ego, aku semakin yakin, orang yang bilangnya sayang dan ingin menjaga sepenuh hati, ngga akan tega untuk menyikiti sedemikian rupa. Setidaknya, setelah aku bertemu dengan pemberi pelukan itu, aku mulai bisa membangun batas yang tinggi dan kokoh, perlahan-lahan aku berjalan membelakangi sahabatku dan aku mulai belajar untuk berjalan sendiri setelah sekian lama aku bergantung kepada dia dan kembali berusaha melihat dia sebagai teman baik atau sahabat, seperti yang dia harapkan, tidak ada kata putus dan tidak ada kata kehilangan. 

Kayaknya gampang ya, melepas sahabat dengan cinta platonik yang sudah terlanjur ada, tapi kalau jadinya saling menyakiti, bukan saling memberi arti, buat apa dipertahankan?

Sekali lagi, terkadang nyaman memang brengsek.

Wrote by Insidemonochrome
Kembali menjadi mahasiswa dan juga bekerja sebagai fotografer lepas (freelance photographer) ada enak dan ngganya.

Enaknya:
  • Waktu kuliah fleksibel, saking fleksibelnya dalam seminggu bisa ngga ada kuliah karena jadwal dosen yang berantakan.
  • Waktu luang lebih banyak karena dalam sehari bisa cuma dikasih 3 SKS
  • Bisa bangun siang kalau kuliah dimulai sekitar jam 1 atau 2 siang
  • Pengetahuan bertambah, begitu juga dengan teman dan koneksi
  • Libur semester gasal lebih dari dua minggu, libur semester genap lebih dari dua bulan
  • Bebas nongkrong pas weekdays, ngga usah nunggu weekend untuk nongkrong hore

Ngga enaknya:
  • Keluar duit lagi setiap semester
  • Buang waktu, uang dan tenaga kalau udah di tengah jalan baru dapat kabar dosennya ngga bisa masuk
  • Deadline ngga mundur meskipun dosen ngga masuk kuliah dan menyebabkan pembahasan materi jadi terlambat atau jadwal makin berantakan. Satu semester ada lima mata kuliah. Nah sekarang tau khan kenapa aku bisa sampe punya anxiety attack?
  • Nongkrong sih bebas, bisa pas weekdays, nah kalo temen-temen nongkrong kebanyakan adalah yang kerja kantoran, mau ngga mau nunggu mereka bubar kantor atau weekend. MAMAM TUH MACET!

Lalu, apa hubungannya poin-poin di atas dengan judul tulisan ini? Jadi gini... *benerin posisi duduk*. Setelah lulus kuliah S1, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan traveling, baca buku sambil ngopi dan mencari uang jajan tambahan dengan menjadi fotografer lepas karena ibuku pensiun dini dan beliau butuh salah satu anaknya untuk nemenin kemana-mana, yaitu aku yang banyak nganggurnya. Karena orang tuaku termasuk liberal dan demokratis *ecieeeeeh*, aku diberi kebebasan untuk menghabiskan waktu dengan caraku sendiri asalkan pulang dalam keadaan sober alias ngga mabuk berat. Sebagai pengangguran hore alias kerjanya akhir pekan doank *saat itu*, aku sering jadi partner makan siang teman-temanku yang bekerja kantoran selama bertahun-tahun. Berbagai macam obrolan kami bahas meskipun kami hanya punya waktu satu jam. Biasanya yang aku lakukan adalah menentukan di mana kami mau makan siang, tanya ke teman dia mau makan apa biar bisa aku pesankan jadi dia tinggal makan begitu dia datang dan itu akan menghemat waktunya. Kalimat pembuka yang sering aku ucapkan ke temanku adalah, "how's work? / Bagaimana kerjaan?". Ngga sedikit yang mengeluh dan berujung pengin resign. 

Sebagian besar dari teman-temanku adalah laki-laki. Mereka bekerja selama bertahun-tahun, dengan keluhan yang menumpuk serta jatah cuti yang masih utuh, dilakukan karena ingin menabung tapi  mereka lupa untuk beristirahat sejenak dari pekerjaan yang membabi-buta *kasih tongkat jalan ke babinya* alias liburan.

"Loe mah enak, Ri. Ngga kerja. Ngga ada tanggungan, segala macem masih dibiayain", sebagian besar bilang seperti itu ke aku.

"Emang sih ngga ada tanggungan karena gue masih tinggal ama orang tua, gue melakukan apa yang pengin gue lakukan karena mumpung masih bisa dan masih punya waktu, daripada nyesel di hari tua", jawabku. 

Tidak sedikit pula orang yang memberi komentar kalau aku traveling karena aku berasal dari keluarga mampu. Poinku bukan pada uang atau materi lainnya, melainkan waktu. Waktu bapakku seumuranku, alm kakek sering mengajaknya traveling untuk melihat dunia sehingga ada yang dia ceritakan ke anak cucunya, yang mana adalah benar, bapak punya segudang cerita dan pengalaman traveling bersama alm kakek. 

Semenjak mulai menghemat, aku lebih memilih traveling ke beberapa bagian di Indonesia untuk kegiatan relawan biar ada faedahnya. Memang sih, aku ngga dibayar. Tapi pergi ke beberapa bagian di Indonesia sambil membantu orang lain itu menyenangkan, apalagi pergi ke daerah yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. 

Komentar yang mepet ke negatif masih mengalir setelah aku unggah foto di Instagram, terutama di saat makan siang atau ngopi bareng teman. Mereka bilang capek kerja, tapi cuti ngga pernah dipake dengan alesan sayang bukan karena ngga punya uang untuk liburan. WOI! Istirahat dari pekerjaan dengan ambil cuti ngga harus pergi jauh-jauh, ngga harus menjadikan foto-foto di Instagram sebagai panutan atau persaingan di alam bawah sadar. Sewaktu aku ambil summer school di London dan (sempet) pacaran sama orang asli sana, aku sempat melakukan hal yang ngga biasa ke pacar, yaitu memintanya cuti sehari di hari kerja. Untuk apa? Untuk mengajak dia mengunjungi museum di saat sepi. Aku melakukan itu karena dia merasa jenuh di kantor, mau pergi keluar pas weekend juga kota ramai ngga karuan. Aku senang bisa melihat rasa jenuhnya menghilang setelah kencan ke museum berakhir dan suatu hari kami berjanji akan melakukannya lagi. Melihat teman-teman di Jakarta mengalami hal yang sama, aku mencoba melakukan hal yang serupa, tapi sayangnya mereka lebih takut sama deadline daripada kewarasan mereka yang hampir hilang. 

Saat ini aku sedang berada di Jogja untuk penelitian tesis sambil liburan, kemarin aku sudah memasuki minggu kedua, dan aku masih punya waktu dua minggu lagi untuk kembali ke Jakarta. Apa yang bisa aku bilang tentang Jogja selain menyenangkan, ramah dan makanannya murah? Selain itu, Jogja memberiku aura yang berbeda. Sangat berbeda. Di sini aku merasa lebih bebas dan lepas karena semuanya berbeda dari Jakarta, padahal masih berada di pulau yang sama. Aku sengaja memilih tinggal agak lama di Jogja agar aura negatif di Jakarta rontok semua dan di sini aku merasa jauh lebih... waras. Rasanya menyenangkan bisa bertemu lagi dengan teman-teman yang sudah tidak bertemu selama bertahun-tahun, masih bisa jajan enak di Pasar Beringharjo, dan yang lebih enaknya lagi... Jogja tidak sepadat Jakarta. Iya, di sini aku (hampir) kembali waras. 

Sampai sekarang aku masih suka membujuk beberapa teman untuk cuti sehari di hari kerja untuk menikmati kota Jakarta di pagi sampai sore hari, yang mana mereka lewatkan selama bertahun-tahun bekerja. Aku pengin mereka menikmati betapa enaknya nongkrong di coffee shop kesukaan kami di saat sepi-sepinya, atau berkunjung ke museum yang dari dulu ingin mereka kunjungi, atau ke perpustakaan, atau bahkan movie marathon, menonton semua film yang ingin mereka tonton. 

Iyah, hidupku enak karena sekarang aku masih punya waktu tiga minggu lagi sampai memasuki hari pertama semester baru. Aku bahagia dengan apa yang aku lakukan, karena apa? Karena aku mengikuti kata hati, aku ingin, dan aku butuh. Setiap kali aku punya keinginan yang pasti berhubungan dengan waktu, aku selalu bilang kepada diriku sendiri, "mumpung masih bisa nih!", atau "mumpung gue masih punya waktu nih".

Use your chance wisely, guys. Apalagi kalau menyangkut waktu dan beberapa keinginan yang pengin kalian penuhi, apapun itu. Tenaga bisa kalian kumpulkan, uang bisa kalian cari, tapi kalau waktu udah terlanjur terbuang, kalian ngga akan bisa memutarnya kembali.

Jatah cuti masih ada? Ambil buat liburan! Jangan jauh-jauh, ngga usah niru orang-orang yang di Instagram. Kalian bisa staycation di hotel, AirBnb atau guesthouse di Bogor. Kalian bisa menghabiskan waktu seharian sama orang tua, adik maupun kakak. Kalian bisa manfaatkan waktu dengan baca buku di coffee shop. Kalian bisa pergi ke museum. Kalian bisa pergi ke puncak Monas kalau belum pernah. 

Kalau kalian merasa Jakarta sudah membuat kalian kehilangan kewarasan, pikir lagi. Apakah Jakarta kota yang benar untuk kamu tinggali seumur hidup dan membuat kalian lupa dengan ketidakwarasan kalian karena gaji yang besar?
Wrote by Insidemonochrome
Ternyata menyenangkan, bisa keluar dari kota Jakarta untuk sementara waktu. Makanan murah dan banyak coffee shop yang ngga jauh dari kosan, serta tempat wisata yang bisa aku kunjungi di hari kerja membuatku merasa sedikit tenang dan bebas. Senang bisa ketemu teman-teman yang tinggal di sini, kami bertukar cerita dan melepas rindu yang tertahan sekian lamanya. Ternyata keluar dari zona nyaman memang yang aku butuhkan untuk sementara waktu sebelum rutinitas kembali menyerang.

Hhhmmm… apa yang bisa aku katakan lagi tentang Jogjakarta?

Kenangan buruk di Jogja? Sejauh ini tidak ada, menemukan cinta juga belom *AZEGH*

Oh ya, kemarin ada yang minta aku untuk nulis tentang ini



Buatku, titik balik dalam hidup seseorang, entah itu laki-laki atau perempuan ada di usia 25 atau biasa disebut Quarter Life Crisis. Banyak yang bilang itu mitos belaka, tapi buatku, itu nyata. Kenapa bisa begitu? Usia 25 adalah usia di mana laki-laki dan perempuan mulai atau sudah memikirkan matang-matang soal karir, aset hidup (baca: tabungan jangka panjang) dan juga jodoh atau percintaan.  Aku berasal dari keluarga Jawa, yang mana buat mereka usia 25 tahun adalah usia yang sudah sangat matang untuk menikah, bahkan untuk perempuan, usia segitu bisa dibilang "cukup tua" untuk menikah. The pressure was real ketika keluargaku menilai demikian, tapi soal jodoh ya aku sendiri serahkan ke Tuhan, daripada menikah demi status dan gengsi tanpa memikirkan kesiapan dan kematangan diri dari sisi fisik, mental maupun finansial, itu sama saja bunuh diri karena bisa saja kamu mengalami kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk apapun. 

Menurutku, entah kamu masih dibiayai orang tua atau sudah bekerja secara mapan, menabung adalah hal yang sangat penting, apalagi kalau kamu termasuk orang yang idealis, visioner dan punya rencana jangka panjang seperti akyuuuuuh.

Aku lahir dan besar di keluarga yang serba cukup. Segala macam dibiayain dan dibeliin bapak, mulai dari kebutuhan dan keinginan karena menurut bapak, selama aku belum menikah, aku masih tanggung jawab bapak dan aku dididik untuk ngga minta dibayarin oleh orang lain, bahkan dibayarin makan sama pacar sekalipun, dalam hal kencan pun beliau memintaku untuk patungan, split bill atau gantian yang bayar dengan pacar, karena jika segala macam aku dibayari pacar kahawatir nantinya bakal perhitungan dan itu sangat masuk akal buatku. Karena hal itu, bukan berarti aku bisa minta segala macam ke beliau karena aku tau kemampuan beliau dalam mencari uang juga terbatas, dan bukan karena itu juga aku menunda menikah. Aku menabung gila-gilaan mulai usia 27 tahun, entah itu untuk traveling, belanja make up, baju atau sekedar makan enak. Aku sendiri juga masih bekerja sebagai freelance fotografer meskipun penghasilannya ngga seberapa dan sehari-hari masih diisi dengan kuliah.

Perempuan yang akan atau sudah menginjak usia 30 tahun tapi masih single tapi happy dan pekerjaan juga mapan pasti bakal tetap dinilai ada yang salah karena belum menikah. Menikah adalah pilihan, bukan karena paksaan budaya dan adat. Beberapa dari kalian pasti ada yang sedang berjuang mati-matian untuk mempertahankan hubungan beda suku bangsa bahkan beda agama. Girls, I've been there and done that. Ketemu dan cocok yang seagama, malah putus karena perbedaan budaya. Ketemu dan cocok sama yang sebudaya, eeeeeh beda agama. Ketemu dan cocok sama yang beda budaya tapi beda agama, pada akhirnya restu orang tualah yang berkata lain. Kesal? Sudah pasti. Apalagi beberapa bulan setelah itu orang tua kembali nanya, "Nuri, kamu belom punya pacar baru?" atau "Nuri, kamu masih pengin nikah khan?".

YA MENURUT NGANA AJAAAAH?!

Kalau ngga dipikir dalam-dalam, pertanyaan-pertanyaan itu sangatlah mengganggu. Tetapi jika dilihat lagi, aku menjadi paham bagaimana perasaan bapak ibu melihat anaknya yang menganggap enteng soal menikah dan lebih mengutamakan pendidikan serta traveling, menikah tidak menjadi prioritas lagi buatku. 

Aku punya kakak dan adik laki-laki, ya, aku anak tengah dan perempuan satu-satunya. Setelah kakakku punya anak, aku sempat berpikir bahwa orang tuaku sudah merasa lengkap karena punya cucu (sampai tahun 2018 ini, kakakku udah punya 3 anak). Setelah ngobrol banyak dengan beberapa teman dekat (yang mana juga sebagai bentuk perlawananku terhadap panic attack yang sering aku alami belakangan ini, yaitu dengan kembali bersosialisasi), akhirnya aku benar-benar tahu dan sadar akan maksud dari pertanyaan dan harapan bapak dan ibuku tadi. Aku anak perempuan satu-satunya di keluarga, dan akan menjadi satu-satunya momen di mana bapakku nanti akan menjadi wali nikah dan mengucapkan "Saya nikahkan dan kawinkan anak saya, Nuri Arunbiarti binti....". Yap, kata "binti" akan diucapkan oleh bapakku hanya sekali dalam seumur hidup.

Memang, terkadang kita merasa hidup kita dikendalikan oleh orang tua demi kebahagiaan mereka tanpa memikirkan kebahagiaan kita sama sekali. Di usia 28 tahun, aku mengungkapkan keinginanku ke bapak dan ibu bahwa aku ingin meneruskan pendidikan, kembali traveling setelah lulus dan mencari kerja di luar negeri. Mereka kecewa? Mungkin. Tapi semakin dewasa kami, terutama aku dan bapak, kami saling mengerti satu sama lain. Kami mencoba untuk bicara dari hati ke hati. Akhirnya bapak mengerti, bahwa aku masih bisa bahagia dengan mengejar cita-cita dan mendapatkan impian yang aku tanam dalam hati dan niat sejak masih di bangku SMA. 

Menurut obrolanku dengan teman-temen dekat, hidup di usia menjelang atau sudah menginjak usia 30 tahun itu semua tentang komitmen dan kompromi, entah dengan seseorang atau dengan sesuatu. Kalau soal pasangan, aku selalu kembali lagi ke ucapan teman baikku, Christopher Tobing

"Jangan pacaran/menikah cuma karena loe pengin seseorang mengisi kekosongan yang loe punya, tapi karena loe dan dia ingin saling memberi apa yang kalian punya. Dan pastikan loe sendiri udah bahagia, karena kalo loe bahagia, loe tetep bahagia meskipun ngga ada dia"

Perasaan dan pikiranku tertampar keras karena ucapan dia benar adanya. Sebelum aku mendengar kata-kata itu dari mulut dia, aku merasa masih berat untuk merelakan hubungan paling sempurna dan paling nyaman yang aku pernah punya meskipun berakhirnya hubungan itu menjadi pemicu terbesar dari anxiety problem yang aku punya selama ini. Beban hidup langsung terangkat dari kedua bahu, rasa berat langsung hilang dari dalam hati. Aku mencoba melihat kembali dua tahun belakang di mana seorang Nuri bisa bahagia dengan keadaan yang dialami dan dengan apa yang dimiliki. Sampai tahun 2017 aku masih bisa bahagia karena tau bagaimana mendapatkan dan mempertahankannya, yaitu dengan traveling dan fotografi. Menjadi orang yang paling bahagia di dunia karena sudah bertemu dengan orang yang sangat nyaman, dan mendadak sedih dan ingin bunuh diri karena orang itu pergi dengan keadaan yang sangat tidak adil itu bukan aku, that's not the best nor the worst version of me. 

Setelah mendengar ucapan Christopher itulah, aku sangat sadar bahwa selama dua tahun ke belakang dan sebelum hubungan sempurna versiku itu kandas, aku bahagia karena "apa", bukan karena "siapa".

Di saat aku menulis ini, aku masih berjuang melawan anxiety problem yang masih mengikutiku kemana-mana. Aku berusaha keras menumbuhkan niat untuk kembali hunting foto seperti dulu, karena buatku fotografi adalah ajang emotional release. Jangan meremehkan hobby yang kamu punya, entah itu satu atau lebih dari dua, karena suatu hari hobbymu akan menyelamatkanmu dari patah hati, keputusasaan, bahkan pikiran dari bosan hidup.
Wrote by Insidemonochrome
Newer Posts Older Posts Home

Nuri Arunbiarti Moeladi

Nuri Arunbiarti Moeladi
Please don't get envious just because I travel a lot. Music concert photographer and small part of @Salihara

Popular Posts

  • Tujuh Jam Di Udara dan Sydney Tanpa Kesedihan
    Kamis, 23 Februari. Saya dapat flight tengah malam untuk kesekian kalinya, berangkat dari rumah sekitar jam setengah 8 malam karena harus...
  • Panduan Singkat Untuk Travel Writer Bagian Fotografi
    Di bandara Sydney, saya menemukan toko buku Lonely Planet dan membeli buku Lonely Planet's Guide To Travel Writing. Setelah membaca beb...
  • Bervakansi Dalam Dinding Dia.Loe.Gue
    Baru beberapa menit setelah saya hadir di Dia.Loe.Gue, saya merasakan atmosfir ceria di dalamnya karena banyak anak - anak. Mereka bermain ...

Blog Archive

  • ►  2020 (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2019 (7)
    • ►  October (2)
    • ►  July (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ▼  2018 (17)
    • ▼  December (4)
      • Dari RuBI Sumba ke Ubud Writers and Readers Festiv...
      • Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.
      • Selama 14 Tahun
      • RuBI Sumba: Di Saat Keluarga Baru Terbentuk
    • ►  October (2)
      • Kembali Menjadi Relawan, Tetapi Bukan ke Lombok da...
      • Expecto Patronum: Semoga Ini yang Terakhir
    • ►  August (3)
      • Mengartikan Kesempurnaan Dalam Persahabatan
      • Sebulan di Yogyakarta: Menjauh dari Jakarta demi K...
      • Untuk Aku dan Kamu yang Akan atau Sudah Berusia 30...
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (3)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (10)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2016 (11)
    • ►  November (3)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  March (2)
  • ►  2015 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2014 (12)
    • ►  December (5)
    • ►  April (3)
    • ►  March (4)
  • ►  2013 (11)
    • ►  December (1)
    • ►  October (2)
    • ►  September (1)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2012 (13)
    • ►  December (4)
    • ►  November (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  February (3)

Categories

Traveling Photos Photography Photowalk Volunteer Article Friendship Music Love Life Review Beauty Fashion hair make up salon

FOLLOW MY @INSTAGRAM

Copyright © 2016 Inside Monochrome Revamp by SiMunGiL Designed by SiMunGiL