• Home
  • About Me
    • Link Url
      • Example Menu 1
  • Stories
    • Memory
  • Travel
  • Contact Me

Inside Monochrome

A photo blog about travel, volunteer experiences and personal life by Nuri Arunbiarti

Nusa Tenggara Timur, satu dari 35 provinsi Indonesia membutuhkan peran serta lebih banyak dari insan-insan pendidikan Indonesia. Pulau Sumba menjadi salah satu lokasi penyelenggaraan Ruang Berbagi Ilmu (RuBI) tahun 2018.
Sumba… Ya keindahan alamnya telah banyak diangkat dalam berbagai hal. Sebut saja film Marlina Si Pembunuh Empat Babak, dengan manisnya menyorot sudut eksotisme Sumba. Atau dalam film Susah Sinyal yang berhasil menyajikan keramahan penduduk dan otentiknya budaya dari salah satu pulau di Provinsi NTT ini. Meski begitu, dunia pendidikan di Sumba belum secemerlang seperti yang nampak di ranah hiburan.
Salah satu yang harus diperhatikan di daerah ini adalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hampir seluruh pengajar PAUD di Sumba merupakan ibu rumah tangga lulusan SMA dan belum memiliki pengalaman mengajar yang memadai. Padahal PAUD merupakan pondasi bagi pendidikan anak di jenjang selanjutnya. Hal tersebut menjadi salah satu alasan penyelenggaraan RuBI di pulau ini.

Sumba bukan daerah yang sulit dijangkau dengan pesawat, para relawan tidak perlu bersusah payah, kecuali perjuangan yang disebut “Bangun Pagi Buta” karena pesawat yang dipilih para relawan kebanyakan berangkat pada pukul 07.05 pagi dan 07.45 pagi meskipun kedua penerbangan itu akan dilanjutkan di Denpasar pada jam yang sama. Semua relawan yang berangkat pada hari yang sama bertemu di Bandara I Gusti Ngurah Rai di Denpasar, jeda waktu ke penerbangan berikutnya cukup lama sehingga bisa dipakai untuk ngopi dan mencari cemilan di luar ruang tunggu bandara.
Adalah relawan-relawan terpilih Ruang Berbagi Ilmu (RuBI) yang terdiri dari 12 relawan narasumber dan 5 relawan dokumentator yang bersedia membagi keahlian di bidangnya. Mereka tak hanya merelakan waktu namun juga uang untuk memajukan kualitas tenaga pendidik di Sumba. Mereka yang sebelumnya tidak pernah saling kenal, berkumpul dalam satu ruang untuk bekerja bersama demi pendidikan di Sumba.
Mereka datang dari berbagai latar belakang dan pekerjaan. Ada yang beberapa kali mengikuti kegiatan RuBI, ada juga yang baru pertama kali. Ada yang bekerja kantoran, ada juga yang masih mahasiswa. Meskipun hari kosong nan lowong sangat sulit ditemukan, hal itu tidak menghentikan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini, karena untuk menjadi relawan di tempat yang jauh dari rumah itu bukan perkara mencari waktu, tapi menyediakan waktu.

Para relawan tidak bergerak sendiri, mereka dibantu oleh panitia lokal dan relawan RuBI yang berada di Sumba, mulai dari membagi informasi tentang cuaca, makanan yang ada, perjalanan, hingga kondisi pendidikan di sana. Para relawan tidak hanya menyiapkan materi pengajaran, tetapi juga perlengkapan dokumentasi untuk mengabadikan momen yang akan terjadi selama kegiatan berlangsung, yang nantinya akan dijadikan kenang-kenangan untuk semua orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut.



RuBI Sumba diselenggarakan selama dua hari dengan materi masing-masing harinya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Metode Belajar Kreatif (MBK). MBS merupakan materi yang membahas mengenai pengelolaan keuangan sekolah untuk pengembangan kebutuhan sarana dan prasarana.  Sedangkan MBK mengulas mengenai ragam kecerdasan yang dimiliki anak-anak, sehingga guru memiliki pendekatan yang tepat dalam mengajar kepada masing-masing anak didiknya.
Suhu panas memang mengkhawatirkan kami, namun sebenarnya ada hal lain yang jauh menghantui: hari pelaksanaan RuBI dan kesan guru setelahnya. Menantinya seperti menanti hari penghakiman. Dan akhirnya kami terharu. Kami yang datang dengan tujuan sederhana, saling berbagi pengetahuan ini, ternyata dibuat takjub dengan apa yang mata kami lihat. Para guru menerima kami dengan hati terbuka.
Materi-materi yang disampaikan oleh relawan narasumber disambut para peserta dengan antusias. Mungkin karena mereka jarang mengikuti pelatihan sejenis, tapi bisa jadi karena mereka memang bersemangat dengan materi yang disampaikan.



Di sisi lain, para relawan RuBI pun belajar dari guru-guru peserta. Bagaimana perbedaan justru memperkaya hidup kita, bahwa "Bhinneka Tunggal Ika" itu bukan slogan. Dalam satu ruang, para relawan yang berasal dari beragam suku maupun agama dapat membaur dengan para guru peserta. Di sini, RuBI tidak hanya mengajarkan para relawan belajar menghormati budaya, tetapi juga belajar mesra dengan perbedaan.


Cuaca dengan panas yang ekstrim langsung berdampak pada kondisi fisik relawan RuBI. Dehidrasi dan meningkatnya suhu tubuh sudah mulai kami rasakan sejak tapak pertama. Bayang-bayang menurunnya kondisi fisik pasca ini sudah mulai menghantui pikiran semua relawan yang tentu akan berdampak buruk pada kewajiban di Jakarta atau daerah karir masing-masing. Karenanya, saling mengingatkan untuk menjaga kesehatan menjadi satu-satunya pilihan agar kondisi fisik kami bisa tetap terjaga. Seperti layaknya keluarga, di sini kami memang membentuk keluarga baru. Keluarga RuBI Sumba.





Perjalananku sebagai relawan di Indonesia timur tidak berhenti sampai di situ. Setelah RuBI Sumba berakhir, aku bertolak ke Bali untuk menjadi relawan di acara Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) untuk yang kelima kalinya.



Wrote by Insidemonochrome
Waktu aku traveling, beberapa kali aku dinilai bahkan dianggap seorang Muslim yang tidak baik dan juga seorang jihad cuma karena aku beragama Islam tapi ngga menjalani hidup sebagai mana seorang Muslim sesuai cerminan sikap rasul. Aku lahir sebagai seorang Muslim, dan aku besar di keluarga yang hampir semuanya beragama Islam, tapi mengingat kami semua hidup numpang di dunia yang sekiranya membuat kita harus menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial, jadilah kami, atau bahkan kamu, menjalani kehidupan dengan seimbang antara kehidupan sosial dengan norma dan agama yang berlaku. Keluargaku termasuk liberal dan demokratis. Aku boleh minum bir dan minuman beralkhohol asal tau batas dan tidak lupa sama rumah. Orang tuaku ngasih 4 peraturan keras buatku sebagai anak perempuan satu-satunya di keluarga, yaitu:

1. Aku ngga boleh pindah agama, karena itu beberapa hubunganku dengan cowok beda agama harus berhenti karena perbedaan ini padahal aku sendiri ngga masalah dengan pernikahan beda agama. Kenapa? Apalah gunanya jika aku menikah dengan lelaki yang seagama tapi ujung-ujungnya dia bukanlah seorang imam yang baik dan soleh hanya karena “Istri harus patuh kepada suami” yang disalah gunakan demi egonya sendiri, atau bahkan ngga sayang dan menjagaku sebagai mana mestinya.

2. Aku ngga boleh hamil di luar nikah. Ini mah aku juga ogah. Kalo pun aku pengin nikah dengan orang yang aku pengin tapi ngga dapet restu dari orang tua, ya ngga gini juga caranya.

3. Aku ngga boleh pakai narkoba. Jelas lah! Pancake durian masih lebih enak daripada narkoba, udah gitu murah lagi.

4. Aku ngga boleh bikin tattoo. Kata dosen agamaku, konteks menyakiti sendiri adalah sebuah dosa, entah itu secara lahir maupun bathin. Ketika kamu putus sama pacar, tidak bisa balikan tapi masih ngarep banget, itu bisa bikin kamu sakit hati, dan itu sama aja menyakiti diri sendiri bukan? Kalo tattoo, pait-paitnya aku nyesel karena udah bikin meskipun akhirnya bikin juga. OH YEAH! Persamaan dari kedua hal itu adalah, sama-sama sakit dan rasa sakitnya bisa hilang seiring jalannya waktu. Untuk soal dosa? Biarlah malaikat di kedua pundakku yang mencatat. Auk deh sekarang skor malaikat Raqib dan malaikat Atid berapa-berapa.

Toleransi. Aku pernah menjadi seorang minoritas di sebuah kota ketika aku traveling, bahkan aku sempat pacaran dengan cowok Inggris beberapa minggu setelah kami berkenalan. Awalnya sempat khawatir ketika dia tahu agamaku, dia sendiri beragama Kristen Protestan yang hampir aja menjadi seorang Atheis. Dia tipe orang yang ngga bisa mengikuti semua, aku ulangi, SEMUA ajaran dan peraturan agama yang ada. SEMUA ngga ada yang masuk akal di kehidupan dia. Oke, itu hak dia. Ketika aku tanya apa alasan dia tertarik denganku adalah karena hal yang sangat sederhana, menurut dia, Aku termasuk orang yang berpikiran cukup terbuka untuk seorang Muslim. Iya, Aku membela komunitas LGBT di dunia ini. Iya, aku suka melewatkan solat ketika aku males dan aku ngga malu untuk mengakui hal itu. Iya, aku suka ngebir. Dan iya, sebisa mungkin aku hidup di dunia ini ngga mengecewakan kedua orang tuaku. Hubungan kami berakhir ketika dia bilang Islam itu seksis, karena perempuan harus hormat dan patuh kepada laki-laki apalagi dalam keluarga hanya karena laki-laki adalah (calon) imam di keluarga. Dia atau siapapun boleh menghina sikap dan sifatku, tapi jangan agamaku. 

Kenapa kamu harus benci dengan orang yang berbeda agama dan keyakinan KALAU mereka sendiri tidak punya masalah pribadi sama kamu? Kenapa kamu harus benci dengan komunitas LGBT jika salah satu dari mereka adalah sahabat kamu sejak TK dan dia sangatlah santun dan menghormati orang tua dan keluargamu? Kenapa kamu harus benci dengan orang yang bahkan kamu ngga tau namanya, asal usulnya, cuma karena dia membela seseorang yang sangat amat memikirkan kesejahteraan orang banyak?

Logikanya adalah, kenapa kamu harus benci sama seseorang jika dia sendiri ngga bikin masalah sama kamu bahkan sampe bawa-bawa keluargamu? K e n a p a?

Termasuk menilai akhlak seorang manusia, terutama perempuan, cukupkah menilai dari cara berpakaiannya saja? Tiga bulan sebelum aku lulus SMA, aku memutuskan untuk memakai jilbab, nanggung emang, tapi kepengin. Ibu meyakinkanku berkali-kali, kemudian aku dan ibu membeli seragam SMA baru termasuk jilbab putih dan coklat untuk dipakai ke sekolah. Aku baru mulai rajin pakai setelah semester pertama kuliah, yaaa namanya juga belajar, awal-awalnya masih lepas-pakai. Singkat cerita, aku memutuskan lepas jilbab setelah batal menikah empat tahun lalu karena merasa tertekan, bukan karena kepercayaanku akan Tuhan hilang begitu saja, aku percaya Tuhan Maha Baik. 

Dengan lepas jilbab, aku merasa lebih bebas. Aku mulai merokok sekitar 10 tahun yang lalu, dan akan terlihat tidak pantas apabila aku merokok di tempat umum di saat aku masih memakai jilbab. Setelah berpikir panjang, akhirnya aku mengalahkan jilbab yang menutup rambutku selama tujuh tahun lamanya. Reaksi orang tuaku jelas tidak santai, mereka bertanya kenapa dan aku mengutarakan alasan dan perasaanku. Awalnya mereka khawatir tapi lambat laun mereka mau mengerti. Aku masih memakai pakaian yang sudah dibatasi oleh bapak. Hanya di Bali dan saat traveling ke luar negeri aku bisa bebas berekspresi, memakai celana pendek dan kaos oblong atau dress tanpa lengan. Satu hal yang mereka sadari, sifatku yang mereka sangat kenal tidak berubah sedikit pun, dengan atau tanpa jilbab, sebisa mungkin sikap dan perkataanku tidak menyakiti hati dan hidup orang lain. 



Berbuat baik sebenarnya tidak butuh alasan yang bertele-tele, bisa membuat orang lain bahagia adalah salah satu contoh pasaran yang diketahui banyak orang. Tapi berbuat kejahatan, alasannya pasti berbeda-beda, dan di saat kamu sadar alasan sebenarnya kenapa kamu berbuat jahat, aku yakin catatan malaikat Atid bakal penuh dalam waktu dalam beberapa detik aja. 

Jika orang-orang bilang, “Penyesalan selalu datang belakangan”, maka aku bakal bilang, “kalau di awal, namanya kesabaran”. Jika kamu mau bersabar, maka kamu ngga akan melakukan hal yang bodoh karena kamu kalap, khilaf dan emosi lalu berujung penyesalan. 

Manusia diberikan hati nurani dan akal sehat oleh Tuhan, dan itu bukan sekedar pemberian. Semua yang Tuhan berikan ke kita pasti ada gunanya. PASTI! Tapi jika kita menyesuaikan dengan kehidupan sosial yang ada, hati nurani dan akal sehati pasti sering berantem, dan itulah yang menentukan sikap dan sifat kita di dunia yang berdampak ke orang banyak.

Sekarang coba tanya kepada diri sendiri, atas dasar apa hati nurani dan akal sehatmu bisa membenci seseorang tanpa alasan yang sangat jelas? Perbedaan ras? Perbedaan agama? 

Aku menulis ini karena aku pernah hidup sebagai kaum minoritas di sebuah kota di Eropa, pernah dicap seorang jihad, pernah dikira seorang kafir, dan juga karena sahabat-sahabatku adalah non-muslim yang selalu setia ada buatku, menasihatiku dan sayang tanpa syarat apapun.


Wrote by Insidemonochrome
Pernahkah kalian berpikir, di saat kalian menunggu seseorang yang kalian perhatikan selama bertahun-tahun dengan sabar bahkan geregetan sendiri, tanpa menagih kepastian bahwa kalian sekedar teman atau bahkan lebih sampai tidak menyadari bahwa sesungguhnya waktu yang kamu atau kalian lewati itu adalah sebuah proses pendewasaan dan menjadi pribadi yang lebih bertanggungjawab sehingga kalian akhirnya bisa sejalan?

Aku pernah, bahkan sedang mengalaminya

Empat belas tahun bukanlah waktu yang sebentar, tapi dengan kesabaran yang ada, hubungan kami sebagai teman dekat tidak berubah sedikitpun. Kami tetap saling berbagi cerita, keluh kesah, waktu, kenangan, kebahagiaan dan kekhawatiran. Kami sering dipisahkan oleh waktu dan jarak yang tidak sebentar. Tidak bertemu dan ngobrol selama berbulan-bulan adalah hal yang biasa bagiku, atau bagi kami. Entah karena aku tidak penting baginya atau sebaliknya, atau mungkin kami tidak  ingin membuat hubungan ini menjadi rumit. Kami tidak pernah menuntut apapun, apalagi menuntut status "teman" menjadi "pacar" meskipun aku pernah mengajaknya untuk berkomitmen sebanyak lima kali. Iya, lima kali. Dan tentu saja dia menolaknya dengan halus. Sebagai seseorang dengan zodiak Cancer yang cukup keras kepala, hanya seseorang dengan zodiak Taurus ini lah yang bisa membuatku nyaris bertekuk lutut. Sampai beberapa hari lalu, kami tahu bahwa kami masih belum sejalan, mungkin tidak akan pernah sejalan. Hal itu membuatku tidak menaruh harapan lebih. Apalagi negara yang akan kami tuju untuk memulai baru hidup sangatlah berbeda, dia ingin pindah ke Melbourne, sedangkan aku ingin pindah ke London. Hal yang sangat prinspil seperti itu tidak mungkin bisa dikalahkan dengan cara apapun. 

Lima tahun terakhir akhirnya aku sadar apa yang bisa membuatku sabar menunggu selama 14 tahun lamanya. Hal sederhana seperti tidak pernah membatalkan janji dan menjadi teman cerita yang sangat baik adalah alasannya.

Selama 14 tahun aku pernah berpacaran beberapa kali, entah bagaimana dengan dia, yang jelas setiap kali aku ada masalah atau ingin berkeluh kesah tentang pacar, dia yang aku tuju. Dia tau perjalanan hidupku seperti apa sedangkan aku sebaliknya, yang aku tau dari dia hanyalah lembur, lembur dan lembur, dia tidak pernah bercerita tentang kehidupan cintanya dan aku pun tidak pernah bertanya. Satu hal yang sangat kami tau adalah, kami sama-sama punya luka bathin yang besar dan belum bisa disembuhkan sampai sekarang. 






He knows I love him since 14 years ago but he never loves me back. The only thing I know right now is, as long as he always there for me, I'm not afraid about anything but I'm ready to lose him anytime. 

Bulan Maret lalu, salah satu sahabatku menikah dan aku menangis di saat dia mengucapkan ijab qabul. Kalau orang ini menikah, mungkin aku akan menangis karena pada akhirnya, ada yang bisa menyembuhkan lukanya yang tidak terlihat itu, dan yang aku pasti... orang yang dia pilih adalah bukan aku. Nampaknya, aku harus siap-siap luluh lantak untuk kesekian kalinya.

Wrote by Insidemonochrome
Setelah pulau Rote Ndao, pulau Natuna dan pulau Sabu, kini giliran pulau Sumba yang akan dikunjungi tim Ruang Berbagi Ilmu (RuBI). Bukan RuBI namanya kalau para relawan berguguran satu per satu menjelang keberangkatan karena berbagai kendala. Dari sekian banyak tim yang berangkat ke daerah-daerah yang berbeda, tim Sumba termasuk tim yang aman karena tidak terlalu banyak yang mundur. Sumba yang kami tuju bukanlah Sumba Timur yang menjadi objek wisata banyak orang, melainkan di Weetabula, Sumba Barat Daya. Selain mengecek materi-materi yang akan dibawa, mengecek cuaca di sana juga penting. Karena aku pernah ke pulau Rote Ndao sebelumnya, jadi kebayang lah 28-31 derajat Celcius ala Sumba itu gimana. Untung ada handuk putih Good Morning yang setia dalam tas untuk melindungi kepala dari panasnya sinar matahari dan menghapus keringat yang menetes di dahi dan leher (Alhamdulillah inget lagi pakai make up jadi ngga tersapu bersih di saat mengelap keringat di muka). 

Persiapan kami kali ini benar-benar matang karena banyak materi yang akan disampaikan dan banyak perlangkapan yang harus dibawa. Sayangnya di RuBI kali ini aku kembali menjadi fotografer, bukan sebagai pemateri di RuBI Rote Ndao, padahal kangen banget ngasih materi yang berhubungan dengan literasi. 



Tidak hanya mereka yang meninggalkan pekerjaannya di kantor, aku pun bolos beberapa kelas karena sudah berkomitken untuk mengikuti kegiatan ini setiap tahunnya, selain karena suka mengikuti kegiatan relawan, aku ingin mengelilingi Indonesia melalui kegiatan yang bermanfaat untuk orang banyak, tidak hanya untuk relawan-relawan ini sendiri. 

Apa sih yang kamu dapat dari kegiatan relawan? Padahal semuanya (dari biaya transportasi hingga biaya akomodasi) kamu tanggung sendiri?

Selain pengalaman, berkenalan dengan orang baru untuk sebuah koneksi itu penting. Untuk terlibat dalam sebuah kegiatan relawan di luar kota juga dibutuhkan pengalaman yang cukup. Mulai dari mengatur waktu, menjaga kesehatan, dan juga menjalankan tugas sesuai peran sebagaimana mestinya. 

Perjalanan kami dari Jakarta menuju Tambolaka terbilang mudah karena dapat diakses melalui udara, tidak harus lewat laut. Total perjalanan selama 6 jam membuat kami lupa akan rasa kantuk, lelah dan panasnya Sumba karena kami melalui perjalanan ini bersama-sama, tidak sendirian. Memang, kami semua adalah individu-individu yang berbeda tapi kami di sini berkumpul untuk satu tujuan, visi dan misi di bidang pendidikan, khususnya pendidikan di daerah yang lebih membutuhkan.

Dari Jakarta ke Tambolaka, kami harus transit dulu di Denpasar selama 2-3 jam, dan beberapa dari kami mengambil jam penerbangan yang berbeda meskipun kami berangkat dari Denpasar ke Tambolaka di jam penerbangan yang sama. Mungkin pilot dan co-pilotnya agak mager untuk dijemput lebih awal *ECIEEEEE, yang pernah pacaran sama pramugara. Apal bener keknya*


Dari 25 relawan terpilih (termasuk aku), yang jadi berangkat sebanyak 18 (termasuk relawan yang berdomisili di Sumba). Alasan cuti tidak diterima pak atau bu boss atau ada pekerjaan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan sudah menjadi langganan batalnya keberangkatan. Yaaah yang namanya rencana, bisa batal kapan saja.

Berangkat dengan penerbangan pagi bukanlah hambatan bagi kami, selain karena kami semua antusias dengan RuBI Sumba, harga tiket yang lumayan menguras isi tabungan menjadi salah satu alasan kami tapi apa yang kami dapat dari RuBI Sumba, harganya melebihi uang yang kami keluarkan untuk semuanya karena jauh lebih berharga dan tak ternilai, bahkan cerita yang kami tulis bisa kami bagi kapan saja dan kepada siapa aja. Entah sebagai memori yang layak untuk dibagi, atau sebagai motivasi untuk orang lain agar hatinya tergerak untuk membantu orang lain tanpa mengharap kembali.

Tiba di Tambolaka, disambut dengan udara gerah mepet ke panas, gerah yang berbeda dari Jakarta. Di saat seperti inilah kami tidak boleh manja, semua bertanggungjawab atas barang masing-masing, seberat apapun, sebanyak apapun. Dan untuk moda transportasi dari bandara ke lokasi penginapan, sebagian besar memilih naik...




Mobil pickup! Kurang lebih selama 30 menit yang kami butuhkan untuk duduk tanpa alas yang membuat pantat kami tepos diiringi dengan melihat "kosong" nya Weetabula. Pemandangan yang sekiranya hanya bisa aku lihat saat mengikuti kegiatan relawan di luar pulau Jawa. Rasanya melegakan, bukan hanya dari udara tapi juga dari pandang mata, dan aku langsung merasa enggan kembali ke Jakarta karena berada di tempat seperti itulah yang sedang aku butuhkan sekarang.

Dari sisi fasilitas, bisa dibilang di RuBI Sumba adalah RuBI yang termewah dari semua RuBI yang pernah aku ikuti. Lokasi pelaksanaan RuBI berada dalam satu gedung dengan tempat kami menginap, yaitu di rumah retret St. Alfonsus di Weetebula. Aku memilih kamar yang tidak menggunakan AC maupun kipas angin karena udaranya masih terbilang sejuk di siang maupun di malam hari, sampai suatu malam, udara jauh lebih panas dari biasanya. Setelah terbangun di tengah malam karena kepanasan, aku melihat teman sekamarku menutup tubuhnya dengan selimut, seolah udara cukup membuatnya kedinginan dan malam itu membuatku terjaga sampai mendengar adzan subuh meskipun sayup-sayup. Nampaknya ke manapun aku pergi, pasti mengalami kejadian mistis yang bisa membuatku "biasa aja" atau aku ingat sampai kapan pun.






Seperti yang pernah aku tulis di beberapa post sebelumnya, traveling rame-rame menjadi tantangan sendiri buatku karena harus menyesuaikan satu-dua hal dengan yang lain. Aku sempat merasa tidak nyaman dengan keramaian dan kegaduhan yang ada karena aku terbiasa traveling sendirian, tapi aku sadar betul, kalau aku menyendiri, aku bakal melewatkan banyak momen yang seru bersama-sama. Salah satunya ya seperti ini. Kapan lagi aku merasa ngga peduli rambutku berantakan karena angin yang kencang dan bisa foto bareng teman-teman sepenanggungan seperti ini? Menjadi relawan itu menyenangkan, sangat menyenangkan. Bisa ke tempat yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya dan bertemu dengan orang-orang baru yang satu visi dan misi seperti mereka ini.


Wrote by Insidemonochrome
Newer Posts Older Posts Home

Nuri Arunbiarti Moeladi

Nuri Arunbiarti Moeladi
Please don't get envious just because I travel a lot. Music concert photographer and small part of @Salihara

Popular Posts

  • Tujuh Jam Di Udara dan Sydney Tanpa Kesedihan
    Kamis, 23 Februari. Saya dapat flight tengah malam untuk kesekian kalinya, berangkat dari rumah sekitar jam setengah 8 malam karena harus...
  • Panduan Singkat Untuk Travel Writer Bagian Fotografi
    Di bandara Sydney, saya menemukan toko buku Lonely Planet dan membeli buku Lonely Planet's Guide To Travel Writing. Setelah membaca beb...
  • Bervakansi Dalam Dinding Dia.Loe.Gue
    Baru beberapa menit setelah saya hadir di Dia.Loe.Gue, saya merasakan atmosfir ceria di dalamnya karena banyak anak - anak. Mereka bermain ...

Blog Archive

  • ►  2021 (1)
    • ►  December (1)
  • ►  2020 (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2019 (7)
    • ►  October (2)
    • ►  July (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ▼  2018 (17)
    • ▼  December (4)
      • Dari RuBI Sumba ke Ubud Writers and Readers Festiv...
      • Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.
      • Selama 14 Tahun
      • RuBI Sumba: Di Saat Keluarga Baru Terbentuk
    • ►  October (2)
    • ►  August (3)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (3)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (10)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2016 (10)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  March (2)
  • ►  2015 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2014 (12)
    • ►  December (5)
    • ►  April (3)
    • ►  March (4)
  • ►  2013 (11)
    • ►  December (1)
    • ►  October (2)
    • ►  September (1)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2012 (13)
    • ►  December (4)
    • ►  November (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  February (3)

Categories

Traveling Photos Photography Photowalk Volunteer Article Friendship Music Love Life Review Beauty Fashion

FOLLOW MY @INSTAGRAM

Copyright © 2016 Inside Monochrome Revamp by SiMunGiL Designed by SiMunGiL