• Home
  • About Me
    • Link Url
      • Example Menu 1
  • Stories
    • Memory
  • Travel
  • Contact Me

Inside Monochrome

A photo blog about travel, volunteer experiences and personal life by Nuri Arunbiarti



Sejak kecil aku punya impian,
Untuk tinggal di sebuah kota,
Yang bisa membuatku mengurangi air mata,
Dan memberiku lebih banyak tawa.

Bukan, kota itu bukan bernama Jakarta,
Meskipun aku lahir di sana,
Tidak ada salahnya
Aku ingin berkembang di kota orang.

Dari sekian banyak kota yang kuinjak,
Kota yang selalu disebut bapak inilah,
Yang ingin membuatku memiliki hidup yang berbeda,
Bukan untuk menjadi kaya, tapi untuk lebih bahagia.

London membuat kakiku terus bergerak tanpa arah,
Karena setiap sudutnya mewakili impian banyak teman,
Meskipun aku selama 100 hari aku sempat di sana,
Selalu ada alasan untuk kembali untuk masa depan.
Wrote by Insidemonochrome

Menjadi relawan itu... memanggul beban dan tanggung jawab yang berat. Bukan hanya dari barang bawaan berisikan kebutuhan kita selama menjadi relawan (terutama di luar pulau Jawa), tetapi tugas yang kita ambil atas keinginan sendiri. Aku merelakan uang dan waktu untuk membantu orang-orang di bidang pendidikan, ingin membantu mereka yang terkena bencana alam tetapi persiapan dari segi mental maupun dari segi keterampilan yang dibutuhkan belum mencukupi. Aku bukannya mau dipandang sebagai pahlawan atau penyelamat tapi aku ingin memanfaatkan waktu yang aku punya untuk orang lain. Siapalah aku, hanya manusia biasa berbadan mungil dan kurus yang seringkali diremehkan karena dilihat sebagai anak kesayangan orang tua yang hidup serba cukup dan ngga mau melakukan hal yang merepotkan.

Aku terjun ke dunia relawan (terutama di luar pulau Jawa) sejak tahun 2015. Mencoba untuk keluar dari zona nyaman supaya belajar banyak hal baru di luar sana. Waktu itu belom kenal skin care buat wajah, muka dekil karena sinar matahari dan debu dihadapi dengan tabah. Memakai baju sesederhana dan senyaman mungkin biar ngga merepotkan diri sendiri di kota atau daerah yang cukup jauh dari rumah menjadi hal yang biasa. Menahan beli barang ini itu demi menabung dalam bentuk tiket pesawat yang ngga murah pun kini menjadi kebiasaan, Sudah hampir 4 tahun aku menjadi relawan di Jakarta maupun di luar kota, menyicil menjelajahi Indonesia dengan menjadi relawan sudah menjadi agenda tahunan meskipun ngga balik modal (baca: dibayar).

Dua belas kilogram beban carrier yang selalu aku panggul setiap kali bepergian ke luar pulau Jawa untuk menjadi relawan. DUA BELAS KILOGRAM. Apa aja sih isinya bisa sampe seberat itu?
  • Beberapa pasang alas kaki: Sendal, sepatu gunung atau sepatu lari dan sepatu yang aku pakai tapi biasanya pulang pergi pakai sendal biar praktis.

  • Pouch berisikan perlengkapan mandi; Sabun, shampoo, body lotion dan pasta gigi dalam kemasan besar, sikat gigi (ya kali dah bawa pasta gigi tapi ngga bawa sikat giginya), sabun muka, sun block buat muka, dan pembalut buat jaga-jaga. 
  • Laundry bag buat naruh baju kotor, biasanya baju kotor ngga aku cuci kalau udah mau pulang biar dicuci di rumah *evil laugh*

  • Pakaian dalam; celana dalam sesuai jumlah hari bepergian, bra cukup bawa 2 atau 3.
  • Beberapa pasang baju, tergantung berapa lama aku bakal bepergian. Semisal aku pergi selama 7 hari, aku bawa sekitar 6 kaos dan 4 celana (termasuk celana yang aku pakai saat datang). Baju tidur bawa dua atau tiga pasang.
  • Jaket dan syal
  • Baju renang, karena aku sering ke pulau antah berantah atau ke pulau yang dekat dengan laut dan pantainya ramah *salaman*
  • Handuk besar
  • Detergen bubuk atau cair (ditaruh dalam botol semisal beli dalam bentuk pouch isi ulang), semisal ke daerah yang panasnya ampun-ampunan dan mengharuskan aku untuk mencuci baju demi kelangsungan hidup dan teriknya matahari mendukung pakaian cepat kering
  • Colokan paralel, meskipun sinyal susah didapat bukan berarti handphone sama sekali ngga berguna, dan dipakai buat ngecharge batterai kamera. 
  • Mukena *ambil air wudhu*
  • Kosmetik beserta perlengkapannya aku bawa saat jadi relawan Ubud Writers and Readers Festival karena tempat menginap relawan bisa milih sesuai budget, bisa di hostel atau di hotel bintang 2 atau 3 (baca: bisa dandan karena ada meja dandannya). Tapi untuk volunteer trip seperti Ruang Berbagi Ilmu yang mengharuskan aku untuk menginap di rumah relawan, aku lebih memilih membawa skin care, untuk kosmetik cukup bawa pelembab, bedak dan lipcream.

Nah, lima kilogramnya lagi di mana? Lima kilogramnya lagi ada di backpack yang ditaruh di kabin pesawat. Biasanya berisi:
  • Pouch berisi charger (kepala + kabel iPhone dan Android), powerbank, obat-obatan, earphone, karet rambut, dll dkk dsb. Teman-teman menyebutnya itu "Kantong Serba Ada"
  • Pouch berisi peralatan lenong alias kosmetik (concealer, bedak, pensil alis, eye liner, lip cream dengan berbagai macam shade dan minyak wangi)
  • Pouch berisi kamera beserta charger, batterai dan memory card cadangan *ini nih yang bikin berat*
  • Buku bacaan (keseringan novel yang aku bawa)
  • Buku catatan random yang ngga abis-abis, aku lebih memilih yang polos (ngga bergaris) karena suka corat-coret ngga jelas
  • Handuk kecil buat keringat atau mengeringkan tangan.
  • Botol minum 600ml atau 800ml karena banyak minum air itu penting, saudara-saudara!
  • Pouch berisi sedotan, sendok dan garpu stainless karena aku termasuk orang yang malas makan pakai tangan kosong.

Bulan depan aku bakal menghabiskan waktu sekitar 2 minggu untuk UWRF dan extend di Sanur selama beberapa hari, ada yang mau jumpa sekalian nongkrong asik? Let me know ya! Uwu~
Wrote by Insidemonochrome
Jogja, Juli 2018

"Ngga apa-apa, Nuri. Nangis aja"

"Ngga apa-apa, kak. Marah aja ke kita, jangan ke yang lain"

Dua kalimat itu sering aku denger dari Celixa dan Rere di saat aku sedih dan marah karena sakit hati, apalagi setelah putus beberapa bulan lalu. That's not the first cut but it's the deepest. Itu bukan sakit hati yang pertama kali tapi sakit hati yang paling sakit. Bagaimana ngga, di saat aku berjuang, yang di sana menyerah begitu saja. Berjuang sendirian itu melelahkan tapi mereka berdua selalu berusaha menguatkan. Sempat pengin drop out dari kampus karena harus nambah satu semester dan itu bakal membebani orang tua dari sisi finansial tapi ibuku memintaku untuk bertahan meskipun beliau ngga melihat berapa banyak air mata dan keringat yang sudah aku kucurkan untuk mendapatkan gelar master, mungkin beliau ngga pengin lihat juga karena ngga tega. Beberapa bulan lalu aku ngga lulus seminar proposal tesis dan diputusin sehari setelahnya. Lengkap sudah sedih dan sakit hatinya. 

Sempet mikir bahwa aku bodoh sebodoh-bodohnya manusia karena ngga lulus seminar proposal tesis, sempat merasa bahwa aku ngga berguna tapi pada akhirnya aku mikir, dengan berani melanjutkan pendidikan sampai S2 aja udah membuktikan bahwa aku mampu secara fisik, bathin dan pikiran untuk meningkatkan kualitas diri. Aku selalu berkata bahwa diri sendiri, "Nuri, loe itu keras kepala. Loe ngga akan berhenti sampai loe dapetin apa yang loe pengin. Jangan menyerah sekarang, udah sejauh ini lho!" untuk bertahan hidup.

Di saat aku sedang kalut, marah dan nangis ngga jelas, aku pernah mikir bahwa Tuhan segitu ngga sukanya melihat aku keras kepala tapi kenyataannya adalah sebaliknya, Tuhan ingin melihat seberapa kuat aku bertahan untuk menyelesaikan apa yang sudah aku mulai, dan kalau bisa, aku tetap bertahan ketika semuanya sudah selesai karena hidup itu penuh dengan kejutan yang menanti.

Jakarta, Maret 2019

Punya mereka berdua itu... Berkah yang ngga bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tuhan mempertemukan aku dengan mereka berdua di saat yang sangat tepat. Ada masanya seorang manusia merasa lelah untuk bertahan seorang diri, dan ada masanya aku merasa ngga punya siapa-siapa padahal.... YANG SAYANG AKU TUH BANYAK, NJIR!

Di saat seseorang merasa malu karena aku menangis di hadapannya, ada mereka yang menyuruhku menangis ketika rasa kecewa dan sedih ngga bisa ditahan lagi, udah gitu bonus pelukan hangat yang disusul dengan celetukan nyeleneh yang bisa membuatku terhibur dan kembali tertawa. 

Di saat dunia memusuhi kami, 
Kami saling menguatkan dan saling melindungi. 
Di saat orang-orang (mungkin) membenci kami, 
Kami saling mengasihi dan mendapatkan kasih dari yang lain,
...dari orang yang lebih mengenal kami. 

Kami hanyalah tiga perempuan biasa yang memiliki impian besar dan kami saling menguatkan ketika yang lain butuh dukungan, atau di saat ada yang ingin menghancurkan kami. Mungkin ada masanya kami ingin menyerah dan berhenti karena merasa lelah, tapi tidak sekarang, setidaknya tidak hari ini.

Thank you for your loves, girls. I love you til the end of my life.

Selamat satu tahun bersama.


Jakarta, Juli 2019
Wrote by Insidemonochrome
Tuhan itu Maha Baik

Aku percaya itu

Tuhan memberikan apa yang kita butuh, bukan apa yang kita pengin. Dari mana kita bisa tahu? Dari perjuangan kita untuk mendapatkan atau mempertahankan sesuatu atau seseorang. 

"Andaikan di dunia ini ngga ada agama, kita ngga perlu seperti ini", dia bilang. Sebenarnya, dengan adanya (perbedaan) agama pun kami ngga perlu berpisah, apalagi bukan keinginan kita sendiri.

Hari Sabtu, hari di mana aku sedang memikirkan di mana aku akan menghabiskan waktu dengan membaca buku sambil mendengarkan lagu seperti biasanya, hanya satu tempat yang terpikirkan olehku saat itu: sebuah coffee shop langganan di daerah Menteng. Aku duduk di kursi biasanya, setelah segelas kopi kesukaan datang, aku mulai menenggelamkan imajinasiku dalam sebuah buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Anak Semua Bangsa. Masih sisa seperempat buku seingatku. Aku membaca sambil mendengarkan lagu-lagu yang pas dan meminum kopiku sesekali, dan menyalakan rokok ketika aku ingin.

Imajinasiku menari dalam petualangan seorang Minke, sampai akhirnya aku merasa lelah dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Aku sempat ngga peduli dengan sekitarku, yang aku pedulikan hanyalah tesis dan buku yang sedang aku baca; berapa lama lagi dua hal ini akan selesai?

Sesekali aku membenahi rambutku dan menggulungnya lagi, melepas earphone dari kedua telinga, melihat sekitar lalu kembali membaca.

Saat itu di seberangku duduk tiga orang laki-laki, dua di antaranya memiliki tattoo yang aku kagumi. Percakapan mereka tentang musik membuat konsentrasiku buyar. Aku sengaja tetap memasang earphoneku tanpa lagu agar aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. 

Geregetan. Ingin gabung dalam percakapan mereka tapi ngga tahu caranya. Seorang Nuri ngga tahu bagaimana caranya berkenalan duluan? Itu aneh. Terlintas untuk sengaja menanyakan tattoo studio yang bagus di Jakarta, sampai akhirnya aku mengeluarkan kata-kata, "Mas... mas, kalau boleh tau, tattoo itu bikin di mana? Bagus!". Singkat cerita, dari situlah ceritaku dengan salah satu dari mereka dimulai.

Aku seorang muslim, dan dia seorang nasrani. Kami membicarakan banyak hal, mulai dari tattoo hingga pemahaman tentang konsep "open relationship". Lambat laun, keinginanku untuk tetap memiliki open relationship terhenti, karena hubungan seriuslah yang dia inginkan. Apa yang diharapkan dari hubungan dua manusia dengan agama yang berbeda jika banyak orang yang gagal menjalaninya karena perbedaan agama itu sendiri padahal semua agama mengajarkan kebaikan, apapun bentuknya?

Cara kerja Tuhan itu misterius memang, ketika aku menemukan seseorang dengan semua value yang aku butuhkan, kami terpaksa berpisah karena perbedaan agama. Padahal aku sendiri dan ibu (akhirnya) bisa menerima perbedaan agama dalam hubungan serius. 

Menyakitkan bukan?

Apakah hubungan kami bubar setelah dia melontarkan keputusannya? Mungkin. Tapi yang jelas, aku akan mempertahankan keputusanku untuk memperjuangkan dia. Bukan, ini bukan dalam rangka ngasih makan ego, tapi aku mempertahankan hubungan yang memiliki tujuan baik dari awal dengan orang yang aku butuhkan, dan itu bukan sesaat.

Apakah aku bakal melepaskan orang yang membantuku semakin dewasa dalam menghadapi hidup meskipun dia ngga ada di sampingku tapi terus menyemangatiku dengan caranya sendiri lewat telepon? Nope, aku ngga akan melepaskan orang seperti itu.

Semua terasa seperti ngga ada jalan keluar ketika segala hal dijadikan alasan, padahal kita sendiri yang bikin jalan buntu itu. 

Perasaan bisa berubah, begitu juga dengan orang dari pemilik perasaan itu. 

Mungkin sekarang Tuhan sedang berpangku tangan sambil tersenyum dan berkata, "Aku ingin tahu, sampai mana Nuri bisa berjuang dan bertahan"

Buat kalian yang sedang memperjuangkan cinta beda agama, ketahuilah, kamu ngga sendirian.
Wrote by Insidemonochrome
Kencan adalah salah satu tahap pendekatan (bahkan pacaran) yang dilakukan oleh laki-laki, perempuan juga boleh sih, tergantung siapa yang lebih berinisiatif, bukan yang lebih gregetan ngabisin duit. Berhubung teman laki-lakiku lebih banyak, suatu hari aku iseng menananyakan soal "Siapa yang bayar saat kencan?" ke mereka.

Biasanya, kencan meliputi makan, nonton dan ngopi (atau ngebir). Yaaah tambahannya paling pergi ke Seaworld atau Dufan. Ngga ada yang salah pergi ke taman ria khan? Toh semua orang punya sisi kekanak-kanakannya meskipun jarang ditunjukkan. Laki-laki yang sudah mapan secara keuangan cenderung mengeluarkan uang saat kencan atas keinginannya, untuk makan dan nonton, meskipun ngga semua perempuan suka dibayarin semuanya. Mengapa begitu? Untuk perempuan yang juga mapan secara keuangan dan mandiri dalam kehidupan sehari-hari, cenderung lebih pandai dalam mengatur keuangannya untuk kebutuhan dan keinginan. Ngga sedikit teman laki-laki yang aku diajarkan oleh orang tuanya untuk mengeluarkan uang saat kencan karena nantinya ketika berumah tangga, laki-laki lah yang akan menafkahi perempuan. Mungkin bapakku juga mengajarkan demikian ke kakak dan adikku (mereka berdua laki-laki), tetapi bapakku ngga mengajarkan aku untuk selalu mau ditraktir atau dibayari apapun oleh gebetan atau pacar karena menurut beliau, selama aku belum menikah, aku masih tanggung jawab bapak dan segala pengeluaran beliau atau aku yang tanggung. Untuk perihal keinginan seperti kosmetik dan ngebir, aku lebih memilih untuk mengeluarkan uang sendiri. Begitu juga dengan traveling, aku lebih memilih untuk mengeluarkan uang sendiri karena termasuk kebutuhan sekunder. Siapa sih yang ngga butuh liburan meskipun ngga jauh dan ngga mahal-mahal amat?

Ngga sedikit juga koq cowok yang merasa harga dirinya atau egonya direndahkan cuma karena pasangannya ngga mau dibayarin atau ditraktir, dan pasangannya lebih memilih split bill atau 50:50. Karena apa? Karena menurut aku sendiri, mengeluarkan uang sepenuhnya belum tanggung jawab pasangan (laki-laki) meskipun sudah mapan. 

Selain karena mandiri dan mapan, ada kekhawatiran akan rasa perhitungan. Ngga lucu aja khan kalau udah dibeliin ini itu meskipun kita ngga minta, ujung-ujungnya diminta balik karena ngga ikhlas? Entah itu setelah ditolak atau putus. 

Menurut pengalamanku sejauh ini, ada cowok yang merasa minder karena aku lebih memilih 50:50 saat kencan, tapi ada juga yang merasa tertantang bahkan biasa aja. Jangankan minta, pinjem duit untuk beli Chatime karena aku ngga ada uang kecil aja segannya setengah mati dan bakal aku ganti dengan segera. Ngga ada yang salah dengan itu khan?

Oke, masuk ke soal kencan ideal. Ngga semua orang suka kencan yang hanya makan dan nonton, biasa? Biasa banget. Untuk aku sendiri, aku lebih suka kencan yang lebih banyak waktu untuk ngobrol biar mengenal lebih dalam satu sama lain. Entah sambil ngopi atau ngebir. Ngga banyak cowok yang suka sama cewek ngebir. Aku pernah mengalaminya. Tahun lalu aku sempat dekat dengan teman lama, cerita lengkapnya ada di sini. 

Si monyet ini adalah satu dari sekian cowok yang menganggap aku biasa saja, sebagai orang yang sering dipuji "pintar", "menarik", dan sejenisnya, laki-laki macam dia membuatku tertantang karena dia menganggapku BIASA SAJA. Setelah saling mengetahui bahwa kami suka ngebir dan mengagumi penulis yang sama, barulah kami juga saling mengenal lebih dalam, kami lebih memilih ngobrol banyak dengan waktu yang kami punya. Dan dia bukan tipe laki-laki yang memuja perempuan, dia bodo amat aku pulang sendirian naik ojek online malam-malam karena dia percaya aku bakal baik-baik saja, kecuali dalam keadaan tipsy dan mabuk, itu pengecualian. Dan dia bukan tipe laki-laki yang mengeluarkan dompet duluan untuk membayar semua makanan atau tiket nonton di saat kami menghabiskan waktu bersama. Bahkan ketika kami kencan menggunakan mobilnya, tanpa rasa segan dia memintaku untuk bayar bensin setengahnya. Aku hanya bisa bengong. Bengong karena takjub, ada lhooooo laki-laki yang nodong aku dengan santainya, bukan karena dia ngga punya uang atau ngga modal, tapi karena memang sudah sepatutnya segala yang kami beli dibagi dua. Aku sendiri lebih suka pacaran yang benar-benar dimulai dari pertemanan biar merasa nyaman, karena pacaran bukan melulu soal perasaan sayang dan cinta. 

Kembali soal kencan ideal, selain menghabiskan waktu dengan ngobrol sambil ngopi atau ngebir, aku lebih suka menghabiskan waktu bersama dengan pergi ke museum atau pertunjukan musik. Kalau kalian bagaimana? Share you thoughts!


Wrote by Insidemonochrome
Kalau aku punya waktu yang agak lama, mungkin aku akan menghabiskan waktu di Bandung agak lama. Ungkapan "Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum" mungkin ada benarnya. Menghabiskan masa kuliah di Jatinangor selama tujuh tahun nampaknya meninggalkan kesan tersendiri buatku, keinginan untuk selalu kembali ke Jatinangor dan Bandung selalu ada, entah karena teman-teman yang tinggal di sana, atau karena kuliner yang punya cerita sendiri. Aku selalu memilih hari kerja untuk berkunjung ke Bandung karena potensi macetnya tidak terlalu tinggi. 

Setiap kali aku ke Bandung, aku pasti menghubungi Novena Gisela (biasa aku panggil Gisel) dan kami pertama kali bertemu dan berkenalan di kegiatan relawan Ruang Berbagi Ilmu (RuBI) di Natuna. Kami menghabiskan waktu dengan ngopi di Kopi Katong yang notabene adalah milik Ridho Slank dan Ello, heboh sendiri karena menunya sangat berbeda dari coffee shop yang lain karena identik dengan makanan khas Ambon, dan bertemu dengan Jundi Aziz sebagai fotografer dadakan kami di sana. Makasyeh Jundaaaaaay! Oh ya, kami beli sendal sepatu di Hijack Sandals dan percayalah, ini bukan promosi bayaran tapi testimoni tulus dari hati karena makanan dan kopinya sangat enak di lidah, dan sendal yang kami beli pun sangat enak dipakai.



Gisel bekerja sebagai marketing komunikasi di sebuah homestay di Bandung bernama Selaras yang lokasinya menurutku sangat enak karena dekat dengan pusat kota dan akses untuk mencari makan di luar pun gampang. Bentuk penginapan dan kamarnya serasa seperti rumah sendiri karena memiliki tampilan yang beda di dalamnya. Aku memilih kamar standar yang berada di lantai dua, terdiri dari satu kasur single dan satu kasur double. Cocok nih buat geng Shabu Julid yang isinya bertiga, pasti heboh 😂







Menu makanan yang ada di restorannya terbilang cukup sederhana tapi memuaskan yang mana membuat penginapan ini benar-benar terasa seperti rumah. Karena aku pecinta roti dan telur, maka menu Bread with Poached Egg lah yang aku pilih. Yuuuummy!


Selain itu, kopi yang aku pilih sebagai pendamping sarapan juga berbeda, yaitu kopi dengan campuran sedikit rempah-rempah yang membuat rasanya unik sebagai kopi untuk memulai hariku di Bandung. Selain Bread with Poached Egg, ada juga Bihun Goreng dan Potato Wurst Egg. Harganya? Masih menyesuaikan isi dompet kalian, jangan khawatir. Rasanya? Cukup sebagai pembangkit mood kalian di pagi atau siang hari. 



Selain untuk bersantai, Selaras sering dijadikan tempat diadakannya berbagai macam acara termasuk acara resepsi pernikahan yang sederhana seperti yang aku lihat di Instagramnya Finna, seorang ibu terkece se-Bandung Raya yang biasa dipanggil "Ambu". Kalau kalian punya rencana untuk staycation, kalian bisa cek Selaras Guest House and Restaurant di sini. Selamat staycatioooooon~

Lokasi Selaras Guest House and Restaurant:
Jl. Tm. Cibeunying Sel. No.45, Cihapit, Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40114Telepon: (022) 7213681.

Wrote by Insidemonochrome
Body shaming tidak hanya dialami oleh orang yang berbadan gemuk atau gendut cuma karena standar perempuan cantik adalah kurus, tinggi, dan langsing, tapi body shaming juga dialami oleh (orang seperti) aku yang bertubuh pendek (tinggiku 145 cm) dan kurus (berat badanku saat ini 33,5 kg) di usia hampir 31 tahun. Anxiety problemku memburuk di pertengahan tahun lalu dan aku kehilangan nafsu makan selama sebulan, semenjak itu aku semakin mudah sakit karena penyakit lambungku sering kambuh. 

Mungkin bagi orang lain adalah hal sepele ketika bertemu denganku pertama kali dan mengatakan hal yang menyangkut fisikku ini, tapi buatku... itu bukan hal yang sepele. Aku pengin gemuk, tapi susah ngga karuan. Mau makan sebanyak apapun, berat badanku mentok di angka 40 kg, tidak bisa lebih dari itu. Bertahun-tahun aku mendapat body shaming karena badanku yang kurus ini, bisa bayangkan bagaimana perasaanku ketika mendapat ucapan, "Kamu kurus kayak kurang gizi!" oleh orang baru mengenalku selama seminggu-dua minggu? Jangan harap kalian bisa melihatku tersenyum apalagi tertawa setelah aku mendapat pertanyaan itu karena yang ada di pikiranku adalah kenapa aku ngga bisa gemuk meskipun porsi makan dan frekuensi ngemilku sangat banyak? Oke lah aku punya penyakit lambung yang ngga bisa disembuhkan sampai kapanpun, tapi ngga ada salahnya aku mencoba untuk menaikkan berat badan?

Berhadapan dengan penyakit lambung selama bertahun-tahun yang nyaris membuatku kurus kering itu ngga mudah sama sekali. Pengin ngga banyak pikiran biar ngga stress juga susah padahal stress pemicu utama asam lambung. Kalau udah kena asam lambung, mau makan apapun juga ngga enak. HADEUH.

Nampaknya orang-orang yang hidup dalam tubuh berukuran standar layaknya manusia yang dianggap menarik dan normal kurang memiliki empati terhadap orang-orang yang sedikit berbeda, apalagi terhadap aku yang sering dibilang "Kurus kayak kurang gizi". Let me tell you this, guys. You may take "Kamu kurus kayak kurang gizi" as a joke, but not for me because I've struggling with that kind of words for more that 15 years. 


Selain persoalan berat badan, ukuran baju dan sepatu di berbagai toko pun sulit aku dapatkan. "Nur, loe tuh cocoknya pake baju anak-anak!". Okay, another body shaming. Usiaku hampir 31 tahun, aku ingin memakai baju yang sesuai dengan usiaku dan ukuran XS/S atau 0-2 size sangat jarang kecuali  di Cotton On dan Cotton Ink. Kalau aku melihat teman-temanku yang bisa mendapatkan baju sesuai ukuran mereka dengan mudahnya, dari situlah aku dirundung rasa iri setelah sekian lama tidak merasa iri kepada siapapun. Sesekali aku memutar otak untuk bisa mendapatkan baju sesuai ukuranku, entah beli jadi lalu aku bawa ke penjahit untuk dikecilkan, cari di online shop yang memiliki ukuran kecil, atau pesan kaos dengan desain sendiri. 


Tapi punya badan kecil nan kurus juga ada enaknya SETELAH aku mendengar banyak orang pengin gampang kurus sepertiku tanpa harus berusaha dengan susah payah (baca: diet dan olah raga) dan itulah yang membuatku bangga dengan diriku sendiri. I'm small, but strong. 
Wrote by Insidemonochrome
Newer Posts Older Posts Home

Nuri Arunbiarti Moeladi

Nuri Arunbiarti Moeladi
Please don't get envious just because I travel a lot. Music concert photographer and small part of @Salihara

Popular Posts

  • Tujuh Jam Di Udara dan Sydney Tanpa Kesedihan
    Kamis, 23 Februari. Saya dapat flight tengah malam untuk kesekian kalinya, berangkat dari rumah sekitar jam setengah 8 malam karena harus...
  • Panduan Singkat Untuk Travel Writer Bagian Fotografi
    Di bandara Sydney, saya menemukan toko buku Lonely Planet dan membeli buku Lonely Planet's Guide To Travel Writing. Setelah membaca beb...
  • Bervakansi Dalam Dinding Dia.Loe.Gue
    Baru beberapa menit setelah saya hadir di Dia.Loe.Gue, saya merasakan atmosfir ceria di dalamnya karena banyak anak - anak. Mereka bermain ...

Blog Archive

  • ►  2021 (1)
    • ►  December (1)
  • ►  2020 (1)
    • ►  October (1)
  • ▼  2019 (7)
    • ▼  October (2)
      • London Dalam Hitam Putih
      • Dua Belas + Lima Kilogram Untuk Luar Pulau Jawa
    • ►  July (1)
      • Satu Tahun Bersama Mereka
    • ►  April (1)
      • Ketika Kita Sendiri yang Membuat Jalan Buntu
    • ►  February (2)
      • Kebijakan Kencan: Laki-Laki vs Perempuan
      • Selarasnya Bandung Bagaikan Rumah
    • ►  January (1)
      • Body Shaming: "Kamu Kurus Kayak Kurang Gizi!"
  • ►  2018 (17)
    • ►  December (4)
    • ►  October (2)
    • ►  August (3)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (3)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (10)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2016 (10)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  March (2)
  • ►  2015 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2014 (12)
    • ►  December (5)
    • ►  April (3)
    • ►  March (4)
  • ►  2013 (11)
    • ►  December (1)
    • ►  October (2)
    • ►  September (1)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2012 (13)
    • ►  December (4)
    • ►  November (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  February (3)

Categories

Traveling Photos Photography Photowalk Volunteer Article Friendship Music Love Life Review Beauty Fashion

FOLLOW MY @INSTAGRAM

Copyright © 2016 Inside Monochrome Revamp by SiMunGiL Designed by SiMunGiL